"Mestinya kalian minta baik-baik. Tapi tidak. Kalian memilih mencuri. Bila kali ini kulepas, siapa berani memastikan lain waktu tidak akan mencuri lagi?" si pelapor meneruskan bicaranya.
"Ya, maaf sekali lagi, Pak. . . Â !"
Pemeriksaan berlangsung cepat. Tak berbelit-belit.
Pak Polisi tak mampu tersenyum. Kening berkerut, dan pikiran berbantahan sendiri. "Tugasku menanggapi laporan, dan mengajukan ke pengadilan sesuai pasal pencurian. Berat, tidak sampai hati sebenarnya. Bahan makanan itu tak seberapa harganya. . . . . !"
Seorang saksi yang dihadirkan pun merasa risih dengan pikirannya sendiri. "Kalau kepala desa dan warganya cukup peka perasaan serta hati mereka, tidak harus ada pencurian lantaran lapar. Aku ikut bersalah dalam hal ini."
Dan itulah drama kecil yang tak berarti apa-apa bagi Lik Klawit, dengan dua anaknya usia remaja Jarwan dan Sardan. Tiga lelaki kurus, hitam, dan tampak pucat itu tak punya senyum.
*
Satu setengah bulan Lik Klawit dan dua anaknya terperam dalam ruang berjeruji besi. Kepala Lapas berbaik hati menemui mereka. Bukan hanya menasihati, ia juga memberi sejumlah uang. Tak seberapa tetapi cukuplah.
"Pulanglah kalian. Jangan mencuri lagi. Sekadar kalian tahu. Gara-gara kasus kalian warga dewa menggeruduk, melakukan demo. Polisi di demo. Pemilik kebun singkong di demo. Pengadilan, hingga Lembaga Pemasarakatan di demo. . . . . . !"
"Maafkan kami, Pak. . ." jawab Lik Klawit.
"Mereka minta kalian dibebaskan. Untungnya tidak sampai rusuh. Hati nurani siapapun pasti menyetujui tuntutan itu. Tetapi hukum harus dijalankan. Para penegak hukum digaji untuk pekerjaan itu. Nah, semoga hal ini tidak terulang lagi. . . . . !" ucap Pak Kalapas seraya memeluk satu per satu orang-orang yang hendak dibebaskan itu.