Rasanya tiap hari ada saja orang berdemo, unjuk rasa, dan melakukan pamer kekuatan untuk memaksakan kehendak. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota provinsi dan Kabupaten/Kota. Â luar biasa besar semangat kita untuk berdemo.
Beberapa hari terakhir ini marak demo penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. Demo melibatkan para buruh dan mahasiswa. Bahkan ada pelajar menengah pertama dan atas ikut meramaikan.
Bagi kita yang tidak terlibat dengan persoalan tersebut, rasanya enggan dan malas untuk ikut berdemo. Apalagi persoalannya masih abu-abu. Belum jelas benar siapa diuntungkan dan siapa dirugikan. Apakah buruh (secara nasional) betul-betul rugi bila Undang-undang itu dilaksanakan nanti, atau sebaliknya malah untung. Apakah pengusaha saja diuntungkan, ataukah justru iklim investasi dan perluasan lapangan kerja di tanah air? Â Jadi, lebih baik menjadi penonton saja.
Namun, ada satu demo kiranya perlu kita ikuti. Yaitu demo mencari keadilan terhadap Sapto dan Rohmad di Klaten.
Peristiwa itu terkait dengan pencurian sebuah sepeda kayuh. Tak seberapa nilai obyek pencurian, tapi kasusnya berkembang  aneh dan runyam. Bukan si maling dipenjara, melainkan malah dua orang penangkap si maling. Rasa keadilan warga terusik, tapi tuntutan kandas, dan mereka pun berdemo.
*
Ternyata  ada juga demo begitu logis alasannya, yaitu mencari keadilan. Bukan berlatar politik, atau sekadar mencari panggung popularitas, dan apalagi lantaran termakan berita tidak bertanggungjawab alias hoaks.
Kejadian demo itu di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Klaten. Waktunya beberapa hari lalu, tepatnya Senin tanggal 19 Oktober 2020 lalu. Â Puluhan warga Dukuh Getasan, Desa Glodogan, Kabupaten Klaten terpaksa berdemo.
Para pengunjukrasa  membawa spanduk bertuliskan "Turut Berduka Atas Matinya Hukum Kita" dan #savesapto #saverohmad.  Warga juga membawa keranda mayat. Mereka menuntut pembebasan dua warga yang ditahan pihak kejaksaan.
Warga menuntut Kejaksaan Negeri setempat agar membebaskan Sapto dan Rohmad. Mengapa dua orang itu sampai ditahan? Ceritanya sederhana saja sebenarnya.
Sapto dan Rohmad memergoki Yuniadi saat mencuri sepeda kayuh. Waktunya Sabtu malam, sekitar Januari 2019. Keduanya melihat Yuniadi mondar-mandir di sekitar tempat kerja mereka.
Tak lama kemudian orang yang sama membawa sepeda. Â Spontan mereka berinisiatif menghentikan. Namun, Yuniadi mampu berkelit dan melarikan diri. Untuk memastikan adanya pencurian, Sapto dan Rohmad melakukan konfirmasi ke Sugeng si pemilik sepeda, dan dibenarkan. Secepat itu keduanya berteriak "maling. . . ".
Teriakan itu membuat para tetangga berdatangan dan mengejar pelaku pencurian. Tak perlu waktu lama Yuniadi tertangkap. Sempat terjadi aksi massa. Beruntung Sapto dan Rohmad berhasil meredakan amarah warga.
Peristiwa berikutnya, Slamet, orangtua Yuniadi, meminta maaf kepada Sugeng dan warga. Perkara pencurian berakhir damai. Tetapi hal tak terduga terjadi. Slamet melaporkan Sapto dan Rohmad ke polisi dengan tuduhan penganiyaan.
Sebenarnya upaya damai sudah dilakukan. Keduanya diminta Rp 25 juta. Sapto dan Rohmad sudah memberi Rp 18 juta. Tetapi keduanya tetap ditahan. Keterangan dari pihak Kejari Klaten, kasus itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Klaten.
Peristiwa di atas perlu mendapat catatan, sebagai berikut:
Pertama, ketika Yuniadi dimaafkan karena tindak pencurian yang dilakukannya mestinya Polisi pun mengusahakan damai atas tuntutan Slamet (orangtua di pencuri Yuniadi). Bila polisi meneruskan tuntutan Slamet, mestinya perkara Yuniadi pun tidak boleh dihentikan sebab pencurian perkara kriminal.
Pertanyaannya, ada apakah dengan Polsek/Polres maupun Kejari Klaten? Â Betul-betulkah kejadian itu murni sebuah kesalahan, ataukah ada akal-akalan antara Polisi/Kejaksaan dengan Slamet?
Kedua, Slamet yang tak tahu diri mencoba memanfaatkan kondisi anaknya yang diamuk massa. Yuniadi sudah dimaafkan, tetapi ia malah mencoba mencoba memeras Sapto dan Rohmad.
Ketiga, peristiwa ini menjadi sebuah pembelajaran berharga bagi kita dan siapapun. Yaitu, tidak boleh dan jauhi tindakan main-hakim sendiri. Menganiaya terhadap seseorang, sekalipun berstatus maling, di mata hukum merupakan sebuah pelanggaran. Selain itu, penyelesaian sebuah perkara kriminal tidak boleh dibalas dengan tindakan kriminal pula.
Bahkan penegak hukum sekalipun tidak boleh semena-mena memperlakukan pelaku kriminal dan pesakitan. Demikian seharusnya. Dalam peristiwa aini tampaknya tidak adil, tetapi itulah hukum yang berlaku.
*
Perkara atas nama Sapto dan Rohmad, menurut Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Klaten Adhie Nugraha, yaitu pelanggaran Pasal 170 KUHP atau Pasal 351 KUHP Jo Pasal 55 KUHP.
Ia menyatakan, jajarannya bekerja secara profesional sesuai dengan berkas yang dilimpahkan dari kepolisian. Setelah P21 kemudian mereka menerima penyerahan tersangka. Saat ini kasus itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Klaten. Selanjutnya fakta yang ada diuji di persidangan.
*
Mudah-mudahan demo  minta pembebasan Sapto dan Rohmad dari tuntutan hukum di Klaten tidak berubah menjadi rusuh dan anarkistis. Dan bila memungkinkan sebenarnya saya akan ikut demo. Ikut menyuarakan tuntutan keadilan.Â
Meski hukum harus tetap dilanjutkan kiranya hati nurani hakim di Pengadilan nanti terketuk untuk membebaskan Sapto dan Rohmad. Dengan begitu unjukrasa/demo tidak harus menjadi besar, liar, dan berlarut-larut. Apalagi sampai rusuh dan rusak-rusakan fasilitas kota seperti di Jakarta.
Itu saja. Mudah-mudahan kasus itu menjadi perhatian dan pembelajaran kita semua. Harapannya, para petinggi Kejaksaan dan Kepolisian mencermati peristiwa ini. Sehingga peristiwa serupa tidak terulang lagi. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung-Bandung, 23 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H