Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Terjebak di Tengah Demo

20 Oktober 2020   15:55 Diperbarui: 20 Oktober 2020   15:57 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki paruh baya itu terjebak keriuhan demo. Bodohnya, ia tidak mengerti ujung-pangkal tuntutan para pendemo. Demo itu selintasan tertib dan baik-baik saja, tapi gelegar suara sejumlah oratornya layaknya hendak merubuhkan gedung-gedung tinggi, seperti angin beliung untuk membongkar aneka fasilias umum dan pohon-pohon mahoni peneduh jalanan.

Serupa hendak memecahkan gendang telinga siapapun di sekeliling area demo. Mereka terus bergerak, merangsek, berarak-arak menjejak ke tengah kota, pada siang bolong dalam dalam suasana mendung.

Pagi tadi sebelum berangkat seseorang bertanya.

"Mau ke mana, Bang? Sudah, di rumah saja. Cari makan bisa esok, atau lusa. Hari-hari ini lagi marak demo. Kecuali memang mau ikut demo. Lumayanlah selembar dapat uang merah. . . . .  !" kata seorang sohib memperingatkan dengan wanti-wanti.

Tetapi lelaki itu seperti tidak peduli. Dan tersenyum kecil, dengan keyakinan penuh, rezeki harus dijemput. Apapun resikonya.

Dan terbukti kemudian, bukan hanya lelaki lugu itu yang terjebak dalam kecanggungan. Mungkin ratusan atau ribuan orang senasib dengannya. Bingung, tidak tahu, tercengang.

Dan pasti saja para pendemo tak mau peduli. Saat-saat seperti itu mereka merasa jumawa, hanya hasrat dan syahwat kelompok mereka yang pantas diutamakan. Orang lain tidak, dan tak perlu diambil peduli. Tapi tunggu, jangan-jangan kita ada diantara mereka?

*

Alangkah Kacaunya Negeri Ini

Berdalih demo sebagai manifestasi hak.  Ya, setiap warga negara dilindungi undang-undang. Itu seruan kita di mana-mana. Anak-anak sekolah menengah pun ikut-ikutan demo. Ketika tertangkap aparat keamanan para orangtua juga yang bingung.

Mirisnya ada seorang kepala daerah yang seolah-olah mendukung para pelajar ikut demo.

Demo gegap-gempita demi memperjuangkan mimpi ideal dan sempurna. Padahal diam-diam tak sadar kita mudah disusupi perilaku primitif: bikin rusuh, mengganggu aktivitas warga, merusak dan membakar prasarana maupun fasilitas umum.

Para pendemo dan kita boleh saja berargumentasi logis dan kritis. Tapi sayang, kerap bukan demi kebaikan dan kemasyalahatan, apalagi demi rakyat. Retorikanya saja begitu muluk-muluk, tapi tidak.

Tujuan mereka hanya satu, menggoyang kursi presiden. Untung-untungan kalau jatuh. Sebab yang mengantri, dan merasa bisa, begitu panjang tak sabar. Mereka mencari panggung ke mana-mana. Betapakah jabatan presiden diminati banyak orang.

"Orang bodoh itu tak pantas jadi presiden. Aku lebih mampu, lebih mumpuni. . . .  !" pekik seorang lelaki penuh yakin di tengah kumpulan koleganya. Dan ia bersumpah akan mempertaruhkan apa saja demi kursi tertinggi itu. 

Ironis. Parpol makin banyak, makin berjubel tangga naik untuk kursi presiden. Maka sejumlah tokoh merasa diri lebih mampu, lebih baik, dan lebih hebat. juga orang-orang di luar parpol. Diantaranya ada yang mumpuni dalam ilmu agama, tapi kali ini tampak sinis dan tidak ikhlas atas ketetapan Allah. mereka menapak ingin jalan pintas.

*

Negeri Para Pendemo

Inilah negeri para pendemo, banyak orang rela dari pagi hingga pagi, dari minggu ke minggu, terus berdemo. Apapun soalnya, dan bagaimana pun keadaannya.

Demo seolah menjadi jati diri kita semua, menjadi perjuangan hidup mati. Beberapa orang sekadar mata pencaharian, selebihnya untuk menyelamatkan pohon uang siluman yang terancam, ada juga yang mengincar jabatan.

"Strategi kita tetap sama, Bro. Dengan formasi 4-2-4, penyerang tengah menunggu operan bola dari sayap. Perkuat dulu barisan belakang. Penyerang tinggal ambil inisiatif rusuh dan rusak. . . .!" kata panitia demo menggunakan bahasa sandi layaknya permainan sepakbola.

"Siapa jadi kapten kali ini, Bang?"

"Bedakan kapten lapangan dengan kapten di balik pintu. Kapten lapangan tentu saja senior kita. orang lain tak mungkin menyamai kemampuannya. . . . . !" ujar panitia demo sambil meletakkan telunju angan kanan di bibir.

Rapat penting tidak harus bertemu. Lewat online pun memadai. Yang penting gerak cepat dan tak terungkap.

Celakanya, demo selalu disertai rusuh dan diakhiri rusak. Tidak di sini, tidak di sana. Tapi di mana saja. Tiap kota para pendemonya pamer kehebatan. Pamer siapa yang beritanya menasional, bahkan internasional. Tak ada secuil pun rasa sesal. Mental dan temperamental kita tampaknya sama, sama-sama kurang sehat, mungkin sudah sakit parah.

Kurang afdol repot berdemo tanpa bakar-bakaran, tanpa bentrok dengan petugas keamanan. Kurang hebat tanpa kehebohan para politisi maupun akademisi,  para pemuka masyarakat, serta para peserta demo itu sendiri.

Beberapa hari ini pun pecah demo di beberapa kota. Setahun lalu demo rusuh juga pecah. Pilpres waktu itu. Sengit dan kalap. Ya, bayangkanlah brutalnya perilaku orang-orang kalah. Kali ini mengenai Undang-Undang Cipta Kerja yang terlanjur disahkan DPR RI. Entah esok dan lusa mengenai apalagi?

Seorang bupati perempuan lantang membela para pendemo. Dalihnya, pra buruh merupakan rakyatnya. Sedangkan para pengusaha mungkin bukan rakyatnya. Entah darimana logika seperti itu ia peroleh?

*

Primitif, Tak Peduli

Demo boleh dan dilindungi undang-undang. Tetapi berdemo anarkistis serta merusak harus dihentikan.  Sebab perilaku demikian sangat primitif, arogan, semena-mena, dan biadab.

Tapi itulah wajah kita hari ini. Mohon maklum, dan jangan diambil hati.

Dan lelaki yang terjebak di tengah pusaran demo itu berjalan pulang dengan merangkak. Mungkin ia terkena timpukan batu di punggung. Bisa jadi ia kena salah tangkap aparat. Atau jangan-jangan ia remuk terinjak-injak para pendemo yang kocar-kacir melarikan diri, lantaran semprotan gas air mata petugas selepas mereka membumihanguskan banyak sasaran.

"Sudah kubilang jangan pergi. Jangan. Tapi nekat. Kau kira demo itu semacam pesta pora makan enak? Rasakan sendiri sekarang akibatnya. . . . !" bisik sedih seorang sohib di penampungan orang hilang.  

Lelaki paruh baya yang terjebak keriuhan demo itu tak pernah diketahui siapa nama dan di mana alamatnya. Orang pun tak tahu apa pekerjaannya. Mungkin tidak peduli. Setiap orang sibuk dengan urusan masing-masing. *** 

Sekemirung, 20 Oktober 2020 / 3 Rabi'ul Awal 1442

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun