Berhenti merokok itu bukan perkara sulit. Begitu mungkin bagi orang-orang yang pernah menjadi perokok berat, dan kemudian berhenti. Stop, ucapkan selamat tinggal, dan tidak lagi menyentuhnya.
Namun, lebih banyak orang yang mulai coba-coba merokok. Lalu ketagihan, dan banyak lagi yang berusaha keras untuk berhenti, tetapi selalu gagal sebab godaan pertemanan dan suasana tertentu seolah mengharuskan mereka tidak berubah dari kebiasaan lama.
Menjadi perokok sejati, abadi. Dengan bahasa yang bernuansa agama disebut sebagai ahli hisab. Tukang menyedot asap dari tembakau yang dibakar, dengan atau tanpa filter.
Seperti latah, pada dokter pun selalu berujar sama: "Berhenti merokok ya, Pak/Bu? Itu pun kalau penyakit bapak/ibu mau sembuh."
Siapa juga yang ingin berpenyakit, yang ingin penyakitnya tidak sembuh, yang ingin sakit parah karena asap rokok (perokok aktif maupun pasif)? Tidak ada. tidak mengherankan banyak perokok yang ingin berhenti. Ada yang berhasil, tidak sedikit yang gagal.
*
Setiap orang yang mampu menghentikan kebiasaan merokok punya kiat berbeda untuk itu. Berhenti itu perlu proses, perlu alasan, perlu tekat dan semangat, perlu orang yang selalu mengingatkan, dan perlu kondisi tertentu.
Sakit parah salah satunya. Bila orang sudah terbaring di rumah sakit karena kebiasaan merokok, mungkin baru menyadari ada hal yang salah. Ada nada sesal mengapa tidak secepatnya berhenti sebelum keadaan menjadi semakin parah. Mengapa tidak mengikuti nasihat orang-orang tercinta dan oang-orang yang tahu persis akibat buruk merokok?
Alasan merokok sebagai gaya hidup, perangsang munculnya ide kreatif, solidaritas antar teman, demi kenikmatan, dan sulit konsentrasi tanpa merokok, kerap membuat perokok mengabaikan kesehatan sendiri dan hanya mengejar kenyamanan/kenikmatan sesaat.
Pengalaman saya sebagai mantan perokok menemukan dalih itu. Saya mulai merokok tahun ke 3 kuliah (1979), dan berhenti sama sekali setelah 16 tahun bekerja (1997). Selama 18 tahun saya menjadi perokok.
Saat itu belum banyak ruangan dan kendaraan umum ber-AC. Orang bisa merokok di mana saja dan kapan saja (tanpa peduli kesehatan orang lain). Meski bukan perokok berat (sehari kurang dari 1 bungkus) akibat rokok masih terasa bertahun-tahun setelah berhenti. Setiap kali dada terasa nyeri.
Saya berhenti merokok lantaran batuk tak sembuh-sembuh. Saat salat berjamaah terasa menyiksa menahan batuk. Sampai keringat dingin keluar. Apalagi kebiasaan buruk melahap makanan panas, lalu menyeruput minuman dingin, dan merokok.
Bu Dokter yang cantik (kebule-bulean, mungkin ada darah bule) dengan dingin bilang: "Berhenti merokok ya, Pak." Tegas, penuh harap dan empati, tanpa kehilangan kelembutan meminta. Dan saya pun luluh.
Dokter itu bukan yang pertama, sudah beberapa dokter mengatakan hal serupa setiap kali saya ke ruang praktik dokter umum karena gangguan kesehatan. Seperti rutin dan spontan kata-kata itu terlontar begitu saja.
Tetapi yang mengherankan, tidak sedikit dokter juga perokok. Malah perokok berat.
* Â
Dokter memang berurusan dengan penyembuhan penyakit. Dan sejumlah penyakit disebabkan dan bahkan diperparah oleh asap rokok terus-menerus. Karenanya setiap dokter seperti punya otoritas untuk melarang pasien mereka agar berhenti merokok. Â
Padahal tak sedikit dokter yang juga perokok. Mereka menganjurkan pasien merokok, tetapi diri sendiri tak kuasa melakukannya. Kok bisa? Boleh jadi mereka mulai merokok sebelum berkuliah di Fakultas Kedokteran. Ada yang sejak SMP, yang lain sejak SMA.
Muhammad Ridha, seorang dokter yang juga praktisi kesehatan masyarakat di Green Crescent Indonesia, membagikan kisah suksesnya berhenti merokok. Ridha menceritakan, ia mulai merokok saat masih menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama dan berhasil berhenti ketika sudah praktik menjadi dokter.
Ia merokok karena mengikuti kebiasaan kakak sendiri. Iseng-iseng coba, lalu keterusan. Sampai kuliah, dan kemudian praktik dokter. Konflik batin selalu muncul ketika berhadapan dengan perokok.
Ia sudah merokok semua merek, sampai dirasa hambar, tidak ada kenikmatannya merokok. Demikian pun usaha untuk berhenti selalu gagal, sebab ia berada di lingkungan para perokok. Akhirnya ia menghindar dari lingkungan perokok, dan usahanya berhasil.
*
Sekarang pun lingkungan saya masih perokok. Jumlahnya ak seberapa. Namun, mereka akan dengan penuh kesadaran menyingkir bila hendak merokok. Menjauh, atau ke luar rumah.
Berbeda dengan dulu (saat saya menjadi perokok, sebelum tahun 2000) jumlah perokok banyak, dan mereka tidak merasa perlu minta izin-minta maaf atau menyingkir bila ingin merokok. Basa-basinya cukup dengan menawarkan sebatang rokok yang sudah ditarik setengah dari bungkusnya kepada orang terdekat.
Bahkan pernah di ruang kelas 4 kapal penumpang (isi 8 penumpang laki-laki) seorang perokok dengan santai membuka pintu dan merokok. Begitu juga seorang teman perokok dalam satu kamar hotel (saat berdinas), di bus dan kereta api, dan dalam audiensi.
Kini alasan untuk tidak merokok semakin banyak, selain untuk menjaga kesehatan diri sendiri, juga kesehatan anak-isteri. Untuk menghemat uang, untuk tidak mengganggu lingkungan, untuk tidak mengotori sekitar dengan abu dan puntung yang dibuang sembarangan, dan untuk menghalau nafas bau rokok.
Satu lagi, ternyata perokok punya resiko lebih tinggi tertular virus corona dibandingkan bukan perokok. Mudah-mudahan para dokter yang menangani pasien Covid 19 bukan perokok.
*
Meski iklan rokok mati-matian membujuk, produksi rokok ilegal melimpah, teman dan lingkungan gencar mengiming-iming, jangan (kembali) jadi pecandu rokok.
Mudah-mudahan makin banyak orang yang tidak merokok, tidak tergiur untuk coba-coba. Dan bila sudah terlanjur menjadi perokok secepatnya insyaf akan bahaya dan berbagai resiko buruk karenanya.
Untuk berhenti merokok carilah alasan paling jitu sampai ketemu. Lalu berhenti seketika. Dan untuk para dokter perokok, sekali waktu berilah kesempatan pasien-bukan-perokok ganti menasihati Anda. Camkan kata-kata mereka. "Merokok itu buruk, Dokter.. . .!"
Itu saja. Terima kasih telah berkenan menyimak tulisan ini. Wasalam. ***
Sekemirung, 3 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H