Saya berhenti merokok lantaran batuk tak sembuh-sembuh. Saat salat berjamaah terasa menyiksa menahan batuk. Sampai keringat dingin keluar. Apalagi kebiasaan buruk melahap makanan panas, lalu menyeruput minuman dingin, dan merokok.
Bu Dokter yang cantik (kebule-bulean, mungkin ada darah bule) dengan dingin bilang: "Berhenti merokok ya, Pak." Tegas, penuh harap dan empati, tanpa kehilangan kelembutan meminta. Dan saya pun luluh.
Dokter itu bukan yang pertama, sudah beberapa dokter mengatakan hal serupa setiap kali saya ke ruang praktik dokter umum karena gangguan kesehatan. Seperti rutin dan spontan kata-kata itu terlontar begitu saja.
Tetapi yang mengherankan, tidak sedikit dokter juga perokok. Malah perokok berat.
* Â
Dokter memang berurusan dengan penyembuhan penyakit. Dan sejumlah penyakit disebabkan dan bahkan diperparah oleh asap rokok terus-menerus. Karenanya setiap dokter seperti punya otoritas untuk melarang pasien mereka agar berhenti merokok. Â
Padahal tak sedikit dokter yang juga perokok. Mereka menganjurkan pasien merokok, tetapi diri sendiri tak kuasa melakukannya. Kok bisa? Boleh jadi mereka mulai merokok sebelum berkuliah di Fakultas Kedokteran. Ada yang sejak SMP, yang lain sejak SMA.
Muhammad Ridha, seorang dokter yang juga praktisi kesehatan masyarakat di Green Crescent Indonesia, membagikan kisah suksesnya berhenti merokok. Ridha menceritakan, ia mulai merokok saat masih menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama dan berhasil berhenti ketika sudah praktik menjadi dokter.
Ia merokok karena mengikuti kebiasaan kakak sendiri. Iseng-iseng coba, lalu keterusan. Sampai kuliah, dan kemudian praktik dokter. Konflik batin selalu muncul ketika berhadapan dengan perokok.
Ia sudah merokok semua merek, sampai dirasa hambar, tidak ada kenikmatannya merokok. Demikian pun usaha untuk berhenti selalu gagal, sebab ia berada di lingkungan para perokok. Akhirnya ia menghindar dari lingkungan perokok, dan usahanya berhasil.
*