Sekarang pun lingkungan saya masih perokok. Jumlahnya ak seberapa. Namun, mereka akan dengan penuh kesadaran menyingkir bila hendak merokok. Menjauh, atau ke luar rumah.
Berbeda dengan dulu (saat saya menjadi perokok, sebelum tahun 2000) jumlah perokok banyak, dan mereka tidak merasa perlu minta izin-minta maaf atau menyingkir bila ingin merokok. Basa-basinya cukup dengan menawarkan sebatang rokok yang sudah ditarik setengah dari bungkusnya kepada orang terdekat.
Bahkan pernah di ruang kelas 4 kapal penumpang (isi 8 penumpang laki-laki) seorang perokok dengan santai membuka pintu dan merokok. Begitu juga seorang teman perokok dalam satu kamar hotel (saat berdinas), di bus dan kereta api, dan dalam audiensi.
Kini alasan untuk tidak merokok semakin banyak, selain untuk menjaga kesehatan diri sendiri, juga kesehatan anak-isteri. Untuk menghemat uang, untuk tidak mengganggu lingkungan, untuk tidak mengotori sekitar dengan abu dan puntung yang dibuang sembarangan, dan untuk menghalau nafas bau rokok.
Satu lagi, ternyata perokok punya resiko lebih tinggi tertular virus corona dibandingkan bukan perokok. Mudah-mudahan para dokter yang menangani pasien Covid 19 bukan perokok.
*
Meski iklan rokok mati-matian membujuk, produksi rokok ilegal melimpah, teman dan lingkungan gencar mengiming-iming, jangan (kembali) jadi pecandu rokok.
Mudah-mudahan makin banyak orang yang tidak merokok, tidak tergiur untuk coba-coba. Dan bila sudah terlanjur menjadi perokok secepatnya insyaf akan bahaya dan berbagai resiko buruk karenanya.
Untuk berhenti merokok carilah alasan paling jitu sampai ketemu. Lalu berhenti seketika. Dan untuk para dokter perokok, sekali waktu berilah kesempatan pasien-bukan-perokok ganti menasihati Anda. Camkan kata-kata mereka. "Merokok itu buruk, Dokter.. . .!"
Itu saja. Terima kasih telah berkenan menyimak tulisan ini. Wasalam. ***
Sekemirung, 3 Juli 2020