Tertipu itu malu, jelas. Beda-beda tipis dengan "kena prank". Â Agak mirip dengan acaranya Pandji Pragiwaksono pada satu stasiun tv swasta "Kena Deh".
Tidak ada orang yang suka mengobral kisah ketertipuannya. Itu juga alasan mengapa banyak orang yang lebih suka memendam sendiri. Menyembunyikannya rapat-rapat. Banyak kriminal yang mengancam akan mempermalukan korban (mengobral hal memalukan pada korban) jika tidak menuruti kemauannya.
Tetapi proses malu kerap tak terduga. Dan sungguh-sungguh tak dinyana, diluar dugaan, tak terpikirkan sama sekali bakal seperti itu jadinya.
Itulah yang dialami seorang pekerja seni, penulis, budayawan, aktor dan raja monolog. Butet Kartaredjasa (nama lengkapnya Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa). Ia putera budayawan/maestro tari/koreografi kondang Bagong Kussudiardja alm. Kejadiannya seminggu lalu (16/6/2020). Ia kalah akting dengan seorang penipu. Bukan aktor atau aktris, Â bukan pula dramawan atau pemain sinetron andal. Tetapi pemain watak dengan bakal alam yang besar. Yang jelas Butet kalah akting.
Perempuan itu bernama Melia Wahyuni (nama yang tertera pada KTP-nya, 33 tahun). Penipu itu jelas lebih mumpuni (dalam hal akting untuk menipu) dibandingkan dengan Butet. Â Entah Melia belajar di mana, berguru kepada siapa, dan sudah berapa banyak korban dipecundanginya. Tapi ternyata bukan orang-orang sembarangan pernah menjadi korbannya.
Barangkali Melia punya keyakinan besar bahwa orang-orang besar (baca: nama, prestasi, popularitas, jabatan) memang gampang percaya, trenyuh, jatuh kasihan, dan akhirnya mudah terbujuk.Â
Meski malu, dan tentu geli bercampur marah, Butet Kertaredjasa pun mesti ikhlas untuk menyumbangkan kisah ketertipuannya untuk "dikonsumsi" banyak orang.
*
Awalnya Butet Kartaredjasa memposting tulisan di Facebook-nya dengan judul "Tamu Pertanda". Ada nuansa keheranan dan keterkejutan, bahkan setengan tidak percaya hal itu terjadi, dan disematkan pada judul itu. Yiga kalimat awalnya begini:
"Lelakon apa ini? Kok rasanya ganjil. Semalam saya posting foto lawas mangkatnya tokoh besar, eh pagi ini kedatangan tamu, bukan tokoh besar. Dia datang dari Jakarta dan sedang menyiapkan diri untuk "kematiannya"."
Mohon dimengerti, kondisi tamu yang datang berada pada ambang kematian. Menyedihkan sekali. Penyakit yang menjadikannya tahu persis umurnya tidak panjang lagi.
Butet lanjut dengan kalimat begini:
"Saya tidak mengenalnya. Dia cuma mengaku fans, tahun 2012 untuk pertama nonton saya manggung ketika memainkan "Pandol" Teater Gandrik di Yogya."
Sebuah awal yang bikin penasaran pembaca FB-nya. Hal itu sekaligus menunjukkan kepiawaian Butet merangkai kata. Latar belakangnya sebagai jurnalis, serta menghafal monolog maupun naskah drama/film tentu mempengaruhi hal itu.
Seterusnya Butet bercerita mengenai siapa Melia itu, lengkap dengan penyakit yang disandangnya, serta permintaannya yang disebutnya aneh di atas, yaitu sebuah senyuman Butet di depan si penipu tengik itu.
Luar biasanya, akting Melia didukung dengan latar-belakang tokoh yang sedang dihadapinya, serta (terutama) kondisi penyakit (kanker usus stadium 4), rumah sakit  dan dokternya, keluarga yang meninggal karena kanker pula, serta ditambah dengan tangis sesenggukan pula.
Bahkan saking percayanya pada setiap kata si penipu, Butet perlu menambahkan keterangan medis (atas pertanyaan kawannya pada kolom komentar): "Meli nggak punya hp. Kanker di tubuhnya menolak benda2 dgn kandungan listrik."
Siapa coba yang (bila pada waktu itu menemani Butet menjadi saksi atas akting "all out" Melia) ikut mendengarkan "kisah sedih nan memilukan" itu? Bahkan seorang Butet pun terhanyut dan tersentuh hatinya?
*
Seketika (beberapa saat kemudian) pada kolom tanggapan/komentar di FB itu bermunculan deras  aneka tanggapan dengan nada kasihan, simpati, mendoakan, juga menggaris bawahi kata dalam judul "pertanda". Ya, ternyata orang ada mau menghadapi operasi (di Jakarta) yang berkemungkinan gagal dan meninggal dunia pun kok harus "sowan" dulu ke rumah seorang "jongos" (dalam komedi satir Republik Sentilan-Sentilun bersama aktor Slamet Rahardjo sebagai "ndoro" di layar Metro TV) di Yogyakarta.
Cerita sdih itu di- "CC" ke sejumlah teman. Nama-nama yang sangat terkenal/dikenal tentu saja. Karuan saja semakin ramailah tanggapan dan komentar atas tulisan Tamu Pertanda tersebut.
Sekadar tambahan keterangan "CC" dan "BCC" itu adalah kependekan dari Carbon Copy dan "Blind Carbon Copy". Keduanya sama fungsinya, untuk menambah penerima e-mail. Tapi bedanya, di "BCC", penerima akan mengetahui siapa penerima lainnya.
Salah satu nama yang di-carbon copy yaitu  Agus Noor. Di FB cerpenis tersebut puluhan komentar ditulis roang, beberapa diantaranya berbunyi begini:
" . . . . kok mripatmu sembab. koyo melu nangis opo tangi turu? Mugo rangkulanmu dadi lantaran obat kanggo Meli." Â Didid Dananto
Bahkan seorang dramawan dan sastrawan senior melihat sisi lain tak terduga.
"Butet,postinganmu ini teror mental. Izin share." Putu Wijaya
Tetapi tiba-tiba saja -seperti halilintar di siang bolong- kekagetan menyambar Butet, dan tentu orang-orang yang semula berkomentar penuh takzim, hormat, dan bernuansa mendoakan seorang Melia maupun Butet. Dengan huruf capital pula seseorang menulis komentar FB Agus Noor:
"ORANG INI PENIPU, MOHON BERHATI-HATI. SAYA DAN SALAH SATU TOKOH JOGJA SUDAH PERNAH TERTIPU." Tony Trax Hernanto
Komentar yang terakhir itu (dengan menyertakan 2 sumber dari instagram) memberitahukan satu hal: penipuan, dan hal lain bukan hanya dirinya dan Butet, tetapi juga salah satu tokoh Yogyakarta (tidak disebutkan siapa).
Kalau dalam lakon pewayangan hal seperti itu disebut "badhar". Artinya batal, tidak jadi, atau kembali pada wujud semula. Misal pada lakon "Petruk Dadi Ratu" (petruk menjadi raja, setelah mencuri Jimat Kalaimasada/dua kalimat sahadat, dengan gelar Prabu Kantong Bolong) yang sangat berwibawa dan berkuasa, tiba-tiba ia kembali sebagai Petruk (punakawan, anak Semar, yang merupakan rakyat jelata).
Badhar. Prihatin, menggelikan, dan satir sekali. Uasuwoook (umpatan jenaka khas Butet).
*
Pada hari yang sama Butet memposting pengakuan yang jujur, terus-terang, berani mengaku kalah, dan tentu agak galau. Pada postingan awal berjudul Tamu Pertanda terlihat pada 10.33 WIB (16/6/2020). Lalu diralat dengan postingan berikutnya berjudul Belum Aktor, pada 15.50 WIB.
Perlu waktu 5 jam 17 menit untuk berubah pendapat maupun perasaan. Sekaligus pengakuan mendalam bahwa ternyata Melia Wahyuni sangat menjiwai perannya sebagai "tamu pembawa pertanda", dan sejenak melambungkan perasaan tak menentu seorang actor kawakan tanah air.
Ini pengakuan Butet Kartaredjana seperti tertuang pada alinea awal di FB-nya, berjudul "Belum Aktor":
"Ternyata saya belum aktor. Buktinya saya bisa "tertipu" akting orang yang bermain drama di depan saya. Saya terharubiru, dan bikin status di FB yang ndudul ati. Status saya bertajuk "TAMU PERTANDA" bahkan bikin "tukang teror" aktor-sastrawan Putu Wijaya merasa terteror, dan nge-share status saya. Sampai sekarang pun komen bernada empati kepada "Meli", yang ngakunya divonis stadium 4 kanker usus, masih membanjir di wall FB saya."
*
Penipu pintar salin rupa-warna-karakter apa saja yang sangat menyakitkan hati para korbannya. Melia Wahyuni si  penipu itu salah satu saja.  Luar biasanya, ia telah mendapatkan seulas senyum tulus seorang Butet -- si raja monolog dan sangat dikenal ketika menirukan suara khas seorang presiden daripada "piye kabar, enak zamanku toh" Soeharto-, dan tentu ditambah sejumlah uang jalan (sangu) kembali ke Jakarta. Sebuah senyum jelang menghadapi pisau operasi guna mengangkat kanker usus yang diidapnya dengan konsekuensi tipis untuk mampu bertahan hidup. Satir sekali. Tapi, kena deh.
Nah, itu saja. Banyak pembelajaran dari peristiwa itu. Waspada, tidak lekas percaya, hati-hati. Dalam ungkapan Jawa: "ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh." Uasuwoook. ***
Cibaduyut, 25 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H