Nona Ana memesan sejumlah makanan. Saya pesan yang lain.
"Sambil menunggu makanan tersaji, dengarkan pertanyaan saya, Tuan. Tanya sederhana saja. Dan mudah-mudahan Tuan Jalinus tidak terlalu picik untuk dengan tepat menjawabnya. . . "
"Tanyakan. . ."
"Tahukah Tuan secara pasti, ke arah mana jalan pulang?"
Saya tersengang oleh pertanyaan itu. Pertanyaan tenang arah, atau sekadar jalan pulang ke rumah. Tetapi bisa juga pulang ke alam lain.Â
"Mengapa Nona mengajukan peranyaan seperti itu?"
"Kenapa? Sulitkah?" desaknya dengan suara agak keras.
Saya ingin berbaik sangka. Tapi tidak mungkin. Saya justru makin yakin perempuan di depan saya ini semacam orang putus-asa. Ia akan melakukan suatu tindakan buruk, dan ingin mengajak orang lain untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Jawablah, Tuan, apa saja jawabnya menurutmu. Seminggu yang lalu suami saya menjatuhkan talak tiga. Saya tidak tahu apa kesalahan saya. Kesetiaan dan pengorbanan saya untuknya tidak dihargai. Ia memilih pergi dengan perempuan lain. setelah itu ia cari gara-gara hingga membuat saya sangat marah. Lalu. . . . ." ucapnya dengan suara setengah terisak.
"Suami?" seru saya agak bingung. "Jadi Nona sudah bersuami? Lalu untuk apa sebutan Nona di depan nama Ana?"
Ia menggelengkan kepalanya. Tidak menjawab. Â