Hari merata oleh hujan, basah sejak pagi. Mendung tebal. Mestinya hujan lebat saja sekalian, agar cepat selesai. Lalu matahari bersinar terik,dan kehidupan kembali normal.
Itulah harapan Yu Saripah, janda tiga anak dan seorang buruh gendong di pasar tradisional kawasan Kulon, tak jauh dari Pesisir Kidul. Pasangan Yu Saripah adalah Mujilah, seorang gadis kasep alias telat, umur makin tinggi tapi masih klontang-klantung sebelum memutuskan jadi buruh gendong di pasar yang sama.
"Hujan, Muj. Ngalamat pulang nggak bawa uang. . . . . !" ucap Yu Saripah ketika didapati Mujilah terduduk di bangku kosong gpojok pasar.
"Jangan panggil aku Muj, tapi Muji atau Jilah. Nggak enak benar panggilan Muj. Memangnya aku suka ngemuj apa?"
"Waktu kecil, suka ngemuj permen 'kan?"
"Ya. tapi bikin panggilan yang umum. Bukan waton njeplak. . . Â .!" sahut Mujilah dengan setengah tersenyum.
"Ohh, kasar betul kata-katamu. Aku ini lebih tua, lebih panas jadi ibumu. Jadi jangan sembarangan ngomong, kuwalat tahu?"
"Impas, Mak. Tadi kamu panggil aku Muj. Lha gantian kusebut waton njeplak alias asal bicara, impas. Jangan marah-marah, bisa cepat tua. . . . Â !"
Yu Mujilah duduk di bangku yang sama dengan Saripah, Ehh salah, terbalik namanya. Yu Saripah duduk di bangku yang sama dengan Mujilah. Yu Sar umur 50, sedangkan Muji 25 tahun. Tidak masalah beda umur yang banyak, tetapi begitu ketemu mereka selalu klop, cucok.
Jika ada  orang yang mendengar tampak mereka seperti bertengkar. Tapi tidak. Itu satu bentuk kekangenan antar mereka. Namanya juga teman seprofesi, ya sama-sama buruh gendong di pasar, maka solidaritas dan soliditas perlu dipupuk. Dua kata mentereng itu hafal belaka di bibir dua perempuan berpenampilan jadul itu.
"Masih ingat waktu ikut demo tempo hari, Yu?"