Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mendadak Imam Salat Tarawih

10 Mei 2020   13:04 Diperbarui: 10 Mei 2020   14:24 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi salat tarawih berjamaah - www.tribunnews.com

Pandemi Covid-19 memberi keempatan pada Bang Brengos untuk menjadi iman tetap di rumah. Salat wajib lima waktu, juga saat salat tarawih. Itu ujian tidak ringan lantaran dirinya bukan keluaran pondok pesantren, bukan pula bersekolah di sekolah agama. Pengetahuan tentang agama hanya dari pelajaran sekolah beberapa jam saja dalam seminggu.

Namun, demikianlah memang "wolak-waliking zaman (Jw - perputaran roda zaman)". Selama ini ia rajin ke masjid semata sebagai makmum. Sesekali saja sebagai iman bila tidak ada lagi pengurus masjid maupun marbot --karena urusan mereka di luar masjid- yang datang.

Rasa was-was memang menggelayuti perasan Bang Brengos. Hari-hari jelang Ramadan ia sudah sibuk mencari-cari informasi mengenai masjid di sekitar kompleks perumahan yang masih menyelenggarakan salat tarawih. Tapi hasilnya nihil.

Jelang siang Bang Brengos duduk di teras dan membaca kliping koran-koran lawas. Mak Jumilah isterinya menghampiri setelah selesai menjemur pakaian. Waktunya seminggu sebelum Ramadan.

"Bagianmu nanti jadi iman, Bang.. . . . . !" ucap Mak Jumilah.

"Hafalanku sedikit, Mak," kilah Bang Brengos, malu juga sebenarnya berterus-terang begitu. "Ya, tapi 'kan tidak mungkin perempuan menjadi imam dengan jamaah lelaki!"

"Sudah,jangan galau. Kalau lupa bacaan nanti Mak bisiki dari belakang. Yang penting pede saja dulu, percaya diri."

"Begitu ya? Imam dibisiki makmum? Lucu. . ."

"Nggak ada yang lucu. Serius. Meski bukan ustaz, setiap lelaki harus belajar jadi imam. Termasuk untuk imam salat tarawih 23 rakaat. . . . . !"

"Banyak sekali?"

"Ya, untuk menguji hafalan imam dadakan. . . .  !" jawab Mak Jumilah seraya tertawa lepas.

"Sudahlah, 11 rakat saja. Pingsan nanti kalau bacaan Abang panjang-panjang. . .  hehehe!"

Bang Brengos balas tertawa, tetapi agak kecut. Artinya, hatinya ciut juga. Sebenarnya di rumah hanya dua orang jadi makmum, yaitu isteri dan anak bungsunya. Tapi soal hafalan surah-surah dana bacaannya dikeraskan memang perlu persiapan cukup.

*

Minggu pertama Ramadan, siang hari, Pak Samiran lewat. Bang Brengos spontan saja, seperti biasa, memintanya singgah. Selama ini tidak pernah sekali pun ia singgah meski sekedar untuk berbagi ucapan selamat pagi-siang-sore, atau bertukar info mengenai kesehatan. Kali ini tumben, ia mau bersedia.

"Oke, saya singgah, Bang Brengos.. . . ."

"Nah, begitu. Kita bertetangga lama, tapi tidak pernah saling kunjung."

"Memang ada hal penting apa, Bang?"

"Ayolah duduk dulu. Santai."

Kedua lelaki tua itu pun tertawa-tawa. Akrab layaknya dua teman lama. Meski tanpa bersalaman, tanpa berangkulan, dan tetap saling menjaga jarak. Melihat tetangganya mengenakan masker, buru-buru Bang Brengos pun mengambil dan mengenakan maskernya.

"Tapi tolong jangan disediakan kopi panas dan makanan kecil, ya. Maaf. . . .!"

"Kalau es cendol tambah durian, bagaimana?"

"Siap. Boleh dibungkus, bagus untuk berbuka sore nanti. . . . . . hehehe !"

Setelah ngobrol "ngalor-ngidul" (Jw - ke utara-selatan, alias ke sana- ke mari) sampailah pokok bahasan seperti direncanakan Bang Brengos.

"Ngomong-ngomong, Pak Sam sudah lancar jadi iman salat dalam keluarga?"

"Lancar? Hahah, jauh. Wah, itu pekerjaan berat. Tidak terbiasa. Tapi ada kiatnya supaya enteng."

Bang Brengos berpikir keras untuk menebak arah jawaban Pak Samiran. Tapi gagal. Ia sulit membayangkan temannya itu mampu dengan cepat menghafal ayat-ayat pendek. Selama ini ia belum mampu baca huruf hijaiyah.

"Kiat?" Bang Brengos panasaran.

Pak Samiran mendekat dan membisikkan sesuatu. Bang Brengos mengerutkan dahi, lalu mengangguk-angguk, dan tertawa.

"Ternyata pandemi virus corona membawa hikmah pula, ya. . . . hahahaha!" sambut Bang Brengos dengan suaru tertawa tak kalah keras.

Tiga puluh menit tidak terasa, Pak Samiran pamit. Bang Brengos membukakan pintu pagar, dan melambaikan tangan. Senang ia disinggahi orang kaya. Selama ini Pak Samiran dikenal sangat ulet mencari nafkah.

Tanpa pendidikan dan dari keluarga miskin, kerja kerasnya berbuah manis. Ia menjadi pemasok ayam kampung, hingga kemudian punya beberapa lahan peternakan sendiri. Namun, ada hal penting yang dilupakannya. Urusan dunia ia sangat teliti-cermat dan mati-matian mengejarnya, tetapi urusan akhirat ia agak abai.

Dari kisah hidup Pak Samiran itu tiba-tiba Bang Brengos menemukan bahan tulisan yang menggelitik untuk segera ditulis. (Bersambung)

Sekemirung, 10 Mei 2020

Baca juga tulisan menarik lain:
andai-tidak-ada-kata-cucu-juga-dikerahkan
tercyduk-produsen-paket-sembako-isi-batu-ferdian-paleka
kasus-narkoba-roy-kiyoshi-ditangkap-polisi
dari-solo-didi-kempot-melawat-ke-sewu-kutho-hingga-belanda-dan-suriname

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun