"Siap. Boleh dibungkus, bagus untuk berbuka sore nanti. . . . . . hehehe !"
Setelah ngobrol "ngalor-ngidul" (Jw - ke utara-selatan, alias ke sana- ke mari) sampailah pokok bahasan seperti direncanakan Bang Brengos.
"Ngomong-ngomong, Pak Sam sudah lancar jadi iman salat dalam keluarga?"
"Lancar? Hahah, jauh. Wah, itu pekerjaan berat. Tidak terbiasa. Tapi ada kiatnya supaya enteng."
Bang Brengos berpikir keras untuk menebak arah jawaban Pak Samiran. Tapi gagal. Ia sulit membayangkan temannya itu mampu dengan cepat menghafal ayat-ayat pendek. Selama ini ia belum mampu baca huruf hijaiyah.
"Kiat?" Bang Brengos panasaran.
Pak Samiran mendekat dan membisikkan sesuatu. Bang Brengos mengerutkan dahi, lalu mengangguk-angguk, dan tertawa.
"Ternyata pandemi virus corona membawa hikmah pula, ya. . . . hahahaha!" sambut Bang Brengos dengan suaru tertawa tak kalah keras.
Tiga puluh menit tidak terasa, Pak Samiran pamit. Bang Brengos membukakan pintu pagar, dan melambaikan tangan. Senang ia disinggahi orang kaya. Selama ini Pak Samiran dikenal sangat ulet mencari nafkah.
Tanpa pendidikan dan dari keluarga miskin, kerja kerasnya berbuah manis. Ia menjadi pemasok ayam kampung, hingga kemudian punya beberapa lahan peternakan sendiri. Namun, ada hal penting yang dilupakannya. Urusan dunia ia sangat teliti-cermat dan mati-matian mengejarnya, tetapi urusan akhirat ia agak abai.
Dari kisah hidup Pak Samiran itu tiba-tiba Bang Brengos menemukan bahan tulisan yang menggelitik untuk segera ditulis. (Bersambung)