Gara-gara ada kata "cucu juga dikerahkan" maka terjadilah suasana menyerupai "kerah'. Dalam bahasa Jawa kata itu digunakan untuk dua atau sekelompok hewan yang suka berkelahi sesama mereka, atau dengan hewan lain. Cakar dan gigitan dipergunakan, ditingkahi suara ribut-bising melengking-lengking khas bangsa mereka.
Ohya, tapi tidak selamanya kerah berarti pertengkaran dan perseteruan. Tak jarang kerah mengawali sebuah seremonial perkelaminan. Namun, kehebohannya sama, yaitu bikin orang yang mendengar-melihat dan mengalaminya kaget-takut dan geram.
Biasanya dua ekor kucing di atas genteng, di para-para, atau di antara pot-pot tanaman hias di pekarangan, atau di mana saja. Hasrat asmara bangsa kucing memang keterlaluan. Jadi, dalam konteks ini kerah mereka adalah proses reproduksi yang wajar dan alamiah. Tetapi bagi bangsa manusia keras seperti itu terasa aneh dan ajaib.
Demikianpun bukan tidak ada sepasang suami isteri berkelahi dan kemudian sepakat cerai gara-gara "kerah ala kucing" yang gagal, atau tidak sempurna proses akhirnya. Bahkan tak sedikit yang kemudian saling bunuh. Padahal dalam dunia kucing keras mereka tidak menjadi segawat itu.Â
*
Lucunya, yang menjadi bahan kerah tak lain soal kata "cucu". Tidak disebut jelas siapa, tetapi memang terkait dengan si kakek dan si bapak, yang telah disebut sebelumnya. Maka menjadi jelas siapa kakek, bapak, dan cucu bila dikaitkan dengan usulan untuk lockdown.
Benda macam apakah lockdown itu? Entah. Tapi bisa disambung-sambungkan dan  rupanya ada hubungan persaudaraan dengan upaya menghentikan penyebaran pandemic Covid-19. Itulah kondisi beberapa bulan terakhir, hingga kini, yang membuat orang mungkin stress, sakit, dan kurang waras.
Ya, siapa juga yang kehilangan kehidupan normal dan kebiasaan keseharian tiba-tiba disuruh betah di rumah saja? Sudah hampir tiga bulan lho. Prihatin sekali.
Kembali ke tema awal. Kata kuncinya tetap pada kata "cucu juga dikerahkan". Padahal mestinya kata "dikerkahkan" dapat diperhalus dengan kata lain, semisal: diperbantukan, difasilitasi, atau dibujuk untuk ikut. Karena kata dikerahkan terasa ada unsur pemaksaan dan keterpaksaan. Macam mana pula anak kelas 6 SD harus berpikir rumit soal politik kerkah-mengerah para orangtua?Â
Dalam kaitan pilihan diksi tersebut maka kesimpulannya  begini: DS, si pembuatan narasi mengomentari unggahan seorang Ketum sebuah parpol atas hasil kerja puterinya sebagai tugas sekolah di ruang publik, kurang cermat dan tidak hati-hati.
Sudah mulai jelas duduk persoalannya ya? Tetapi memang tidak mudah diurai, apalagi sudah melibatkan KPAI yang belum lama ini salah satu tokohnya jadio beken lantaran ungkapan "berenang bisa bikin hamil" dan kemudian dipecat dengan tidak hormat. Ujung-pangkal persoalan jadi tidak jelas benar.
Mungkin hanya di pengadilan yang bisa mengurai persoalan sepele tapi lucu itu. Ya, sebab apapun kalau sudah dipolitikkan --diseret ke urusan politik, bukan ke poliklinik- begitulah jadinya.
*
Sebelum akhir, perlu dibahas sedikit mengenai latah kita dalam menggunakan kata sebutan/ganti orang yang digabung, dua atau tiga, tanpa disebutkan secara tegas siapa yang jadi patokan.
Kata bapak, ibu, cucu, dan kata lai serupa itu sebenarnya serupa kata petunjuk arah: utara, selatan, bawah, tinggi, gemuk, dan seterusnya. Harus ada dulu patokannya yang jelas, misal rumah cat warna merah, pohon mangga, pom bensin, atau lainnya.
Dari patokan itu baru mudah ditelusuri utara atau selatannya. Jika hanya disebut ke utara, turun, ke kiri, dan seterunsya; tidak bakal ketemu yang mau dicari. Sebut duu rumah cat earna merah, baru ke utara, lalu. . . . . Â
Dengan kata lain DS kurang jernih menyebut siapa yang dimaksud. Kurang tegas. Akibatnya seluruh kader partai merasa tersakiti. Bahkan ahli bahasa dan ahli komunikasi pun akan pusing dibuatnya. Dan urusan berlarut-larut, tak terurai.
*
Belakangan ada lagi nama JS yang coba memperlebar persoalan dengan membandingkan kemampuan bahasa Inggris si cucu yang jadi primadona dengan seorang presiden sebuah rezim. Lucu dan menggemaskan. Tapi ya sudahlah.
Mungkin tekanan batin lantaran pandemic Covid-29 memang sedemikian hebtr dan dahsyat sehingga begitu rupa orang coba menunjukkan kemampuan mereka dalam persiapan "kerah". Ibarat anjing dengan kucing, atau sekawanan tikus berebut ikan asin, atau sekelompok monyet menyerbu ladang petani, begitulah suasananya.
Saran saya, kita jadi penonton yang baik saja. kapan lucu tertawa, kapan seru deg-degan, kapan pilu menangis. Jaga diri baik-baik terlebih dalam suasana shaum Ramadan, agar tidak batal sia-sia. Agar kita tetap mendapatkan pahala puasa dengan segenap amal-ibadahnya.
Kata 'andai" pada judul di atas sekadar pemanis. Tidak perlulah kita ikut berandai-andai, bikin pusing, nggak penting; tapi sebenarnya lucu juga ya?
Nah itu saja, tunggu sebentar sampai waktu berbuka tiba, baru 'sruput kopinya'. ***
Sekemirung, 8 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H