Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Tidak Ada Kata "Cucu Juga Dikerahkan"

8 Mei 2020   17:24 Diperbarui: 8 Mei 2020   17:44 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pengguna twitter - www.tribunnews.com

Gara-gara ada kata "cucu juga dikerahkan" maka terjadilah suasana menyerupai "kerah'. Dalam bahasa Jawa kata itu digunakan untuk dua atau sekelompok hewan yang suka berkelahi sesama mereka, atau dengan hewan lain. Cakar dan gigitan dipergunakan, ditingkahi suara ribut-bising melengking-lengking khas bangsa mereka.

Ohya, tapi tidak selamanya kerah berarti pertengkaran dan perseteruan. Tak jarang kerah mengawali sebuah seremonial perkelaminan. Namun, kehebohannya sama, yaitu bikin orang yang mendengar-melihat dan mengalaminya kaget-takut dan geram.

Biasanya dua ekor kucing di atas genteng, di para-para, atau di antara pot-pot tanaman hias di pekarangan, atau di mana saja. Hasrat asmara bangsa kucing memang keterlaluan. Jadi, dalam konteks ini kerah mereka adalah proses reproduksi yang wajar dan alamiah. Tetapi bagi bangsa manusia keras seperti itu terasa aneh dan ajaib.

Demikianpun bukan tidak ada sepasang suami isteri berkelahi dan kemudian sepakat cerai gara-gara "kerah ala kucing" yang gagal, atau tidak sempurna proses akhirnya. Bahkan tak sedikit yang kemudian saling bunuh. Padahal dalam dunia kucing keras mereka tidak menjadi segawat itu. 

*

Lucunya, yang menjadi bahan kerah tak lain soal kata "cucu". Tidak disebut jelas siapa, tetapi memang terkait dengan si kakek dan si bapak, yang telah disebut sebelumnya. Maka menjadi jelas siapa kakek, bapak, dan cucu bila dikaitkan dengan usulan untuk lockdown.

Benda macam apakah lockdown itu? Entah. Tapi bisa disambung-sambungkan dan  rupanya ada hubungan persaudaraan dengan upaya menghentikan penyebaran pandemic Covid-19. Itulah kondisi beberapa bulan terakhir, hingga kini, yang membuat orang mungkin stress, sakit, dan kurang waras.

Ya, siapa juga yang kehilangan kehidupan normal dan kebiasaan keseharian tiba-tiba disuruh betah di rumah saja? Sudah hampir tiga bulan lho. Prihatin sekali.

Kembali ke tema awal. Kata kuncinya tetap pada kata "cucu juga dikerahkan". Padahal mestinya kata "dikerkahkan" dapat diperhalus dengan kata lain, semisal: diperbantukan, difasilitasi, atau dibujuk untuk ikut. Karena kata dikerahkan terasa ada unsur pemaksaan dan keterpaksaan. Macam mana pula anak kelas 6 SD harus berpikir rumit soal politik kerkah-mengerah para orangtua? 

Dalam kaitan pilihan diksi tersebut maka kesimpulannya  begini: DS, si pembuatan narasi mengomentari unggahan seorang Ketum sebuah parpol atas hasil kerja puterinya sebagai tugas sekolah di ruang publik, kurang cermat dan tidak hati-hati.

Sudah mulai jelas duduk persoalannya ya? Tetapi memang tidak mudah diurai, apalagi sudah melibatkan KPAI yang belum lama ini salah satu tokohnya jadio beken lantaran ungkapan "berenang bisa bikin hamil" dan kemudian dipecat dengan tidak hormat. Ujung-pangkal persoalan jadi tidak jelas benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun