Kali ini proyek balapan perahu motor formula satu memenuhi pikirannya siang-malam. Yang lain diabaikan, bahkan tidak digagas sama sekali. Banjir justru sengaja dibiarkan agar hajatan international nantinya sukses terselenggara.
Hanya saja, supaya tampak bekerja keras ia rajin betul menyambangi warga yang kebanjiran. Berbasa-basi, dan berhaha-hihi. Meski harus berbasah-basah, berenang, dan menyelam untuk menuju ke lokasi kunjungan.
Tetapi akibatnya fatal, wajah Gubernur Icikiwir terkena penyakit kulit. Sejak itu ke mana pun pergi ia harus selalu memakai topeng.
"Carikan ahli wajah yang paling canggih di mana pun di pelosok negeri. . . .!" Gub Icik memberi titah dengan nada marah.
"Di sini tidak ada, Pak Bos. Di negeri utara yang ada. Tapi. . . . "
"Tapi? Teruskan. . . . !"
"Keahliannya membuat topeng kulit asli hanya dengan mata sipit. Selain itu ia menyerah, angkat tangan. Bagaimana mungkin Bos Icik yang asli Timur Tengah tiba-tiba bermata sipit? Nggak mungkin 'kan?"
Dul Gendut sebagai Gubernur Icikiwir menggeleng keras-keas hingga hampir terjengkang. Nafasnya terengah-engah saat memperagakan adegan itu. Hampir putus. Masih satu jam lagi mestinya pentas berlangsung, tapi hujan deras tak tertahankan. Sangat deras. Ada kilat menyambar-nyambar, juga guruh dan angin besar. Tenda bessar yang didekorasi luas dan mewah untuk ribuan penonton mendadak roboh dan buyar oleh hujan disertai  angin puting-beliung.
Kaki-kaki Monas kelelep. Banjir besar melanda ibukota. Pentas ambruk. Gubernur Icikiwir masih dengan topengnya bersama banyak penonton hanyut dibawa banjir. Nasib mereka tidak diketahui, banjir tak juga surut, mungkin sampai ke laut utara.
Keesokan harinya Denmas Sasmito Ngoyoworo dan Tuan Jabrik ditangkap Polisi. Satu borgol untuk berdua. Wajah meeka tampak datar, tanpa senyum, tanpa nada penyesalan. Mereka didakwa dengan pasal berlapis-lapis. Hukumannya bisa belasan tahun.
Dalam perjalanan menuju kantor polisi keduanya masih sempat bisik-bisik, ngobrol ihwal nasib mereka.