Cerita sebelumnya: Teater Karbit berencana bikin pentas kolosal. Tokohnya seorang gubenur, namanya Icikiwir. Untuk mendapatkan pemerannya tidak mudah. Sosok potensi, Dul Gendut, gaga. Muncul nama lain, yaitu Mardimun Celeng. Tapi gagal juga. Terpaksa Dul Gendut dipanggil ulang, dan dengan terpaksa Tuas Jabrik selaku sutradara menjadikan lelaki tinggi besar dan gendut itu sebagai pemeran utama.
*
Pentas entah mengapa dilaksanakan pas tanggal satu pada tahun baru. Dan seperti setiap orang maklum, hari itu seantero ibukota tempat pentas hendak berlangsung dijarah banjir raya. Namun, Teater Karbit tidak mau dikalahkan musibah, pentas tetap terselenggara di bawah Tugu Monumen Nasib apapun resikonya.
Diluar dugaan, Dul Gendut gemilang memerankan karakter Gubernur Icikiwir yang konyol dan dungu. Pentas sukses. Begini ringkasan lakon yang disajikan:
Banjir sebenarnyalah tidak menjadi prioritas penanganan Pak Gub. Ia ada hajatan lain yang lebih berat dipertaruhkan. Ya, itu persoalan lawas terkait dukung-mendukung saat Pilgub silam. Ia tidak bisa berkelit dari kewajiban melakukan politik balas budi, terinspirasi dari apa yang dulu dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
"Pak Gub, kapan kiranya warga sejahtera seperti janji kampanye Sampeyan dulu?" tanya Gandos yang asli Tegal dengan suara melengking. Ia tak lain politikus bermuka dua, berlagak oposisi tapi sejatinya kawan seiring. Â
"Hahaha. Kalian ingat juga omong-kosong itu ya?" Gub Icik menimpali dengan sinis.
"Ya. . . iyalah. Omong-kosong yang manis tak pernah lepas dari ingatan. Biar kosong banyak yang suka. Berasa legit, dan bikin ketagihan. . . . . . !"
"Legit, tapi kosong. . . . !"
"Hanya pakar mumpuni yang sanggup meramu kata begitu rupa. Kalau saja Pak Icik rakus, semua orang bakal terhipnotis layaknya kerbau dicucuk hidung. . . . !"
Gubernur Icikiwir terbahak kesenangan. Ia berjalan mondar-mancir dengan congkak, dan diakhiri batuk. "Jangan berburuk sangka. Setelah politik pecah-belah, tibalah politik balas budi. Itu sebuah keniscayaan".Â
Kali ini proyek balapan perahu motor formula satu memenuhi pikirannya siang-malam. Yang lain diabaikan, bahkan tidak digagas sama sekali. Banjir justru sengaja dibiarkan agar hajatan international nantinya sukses terselenggara.
Hanya saja, supaya tampak bekerja keras ia rajin betul menyambangi warga yang kebanjiran. Berbasa-basi, dan berhaha-hihi. Meski harus berbasah-basah, berenang, dan menyelam untuk menuju ke lokasi kunjungan.
Tetapi akibatnya fatal, wajah Gubernur Icikiwir terkena penyakit kulit. Sejak itu ke mana pun pergi ia harus selalu memakai topeng.
"Carikan ahli wajah yang paling canggih di mana pun di pelosok negeri. . . .!" Gub Icik memberi titah dengan nada marah.
"Di sini tidak ada, Pak Bos. Di negeri utara yang ada. Tapi. . . . "
"Tapi? Teruskan. . . . !"
"Keahliannya membuat topeng kulit asli hanya dengan mata sipit. Selain itu ia menyerah, angkat tangan. Bagaimana mungkin Bos Icik yang asli Timur Tengah tiba-tiba bermata sipit? Nggak mungkin 'kan?"
Dul Gendut sebagai Gubernur Icikiwir menggeleng keras-keas hingga hampir terjengkang. Nafasnya terengah-engah saat memperagakan adegan itu. Hampir putus. Masih satu jam lagi mestinya pentas berlangsung, tapi hujan deras tak tertahankan. Sangat deras. Ada kilat menyambar-nyambar, juga guruh dan angin besar. Tenda bessar yang didekorasi luas dan mewah untuk ribuan penonton mendadak roboh dan buyar oleh hujan disertai  angin puting-beliung.
Kaki-kaki Monas kelelep. Banjir besar melanda ibukota. Pentas ambruk. Gubernur Icikiwir masih dengan topengnya bersama banyak penonton hanyut dibawa banjir. Nasib mereka tidak diketahui, banjir tak juga surut, mungkin sampai ke laut utara.
Keesokan harinya Denmas Sasmito Ngoyoworo dan Tuan Jabrik ditangkap Polisi. Satu borgol untuk berdua. Wajah meeka tampak datar, tanpa senyum, tanpa nada penyesalan. Mereka didakwa dengan pasal berlapis-lapis. Hukumannya bisa belasan tahun.
Dalam perjalanan menuju kantor polisi keduanya masih sempat bisik-bisik, ngobrol ihwal nasib mereka.
"Sukses besar, Denmas. . Â .!"
"Pawang hujan kurang canggih. Kerja mereka kurang maksimal. Kita berdua mestinya ikut hanyut. Tidak ditemukan. Dinyatakan hilang. Padahal ada tim yang menyelamatkan kita, lalu kita lari ke luar negeri. Bukan malah selamat.. . . .!"
"Skenario besarnya begitu?"
"Kontraknya dengan Ki Dalang begitu.. . . .!"
"Tapi jangan-jangan Ki Dalang bekerja sama dengan polisi, dan kita dikorbankan. Ki Dalang curang, ia punya rencana lain agar kontrak hangus. . . . . !"
"Ohh!"
Dua orang pesakitan itu sampai juga di kantor polisi. Semalaman mereka diinterogasi, didesak, dan dipojokkan untuk mengaku. Tapi tidak. Mereka bungkam. Sebab sudah pingsan.
Denmas Sasmito dan Tuan Jabrik dijebloskan ke penjara bukan karena insiden banjir yang membawa banyak korban. Mereka salah karena ulahnya memperdrama sosok Gubernur yang sangat dipuja-puji warga ibukota. Â *** (Selesai)
Bandung, 14 Jan -- 18 April 2020
Cerita Gubernur Icikiwir sebelumnya:
erpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama
cerpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama-2
cerpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama-3
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI