"Saya. . . .!" satu orang saja yang menyahut.
Nah, itu Mardimun yang dicalonkan untuk peran Icikiwir. Sebutan Icikiwir cepat melekat pada namanya. Kalau ada orang memanggil Icikiwir, ia spontan menoleh. Nama Mardimun ditinggalkannya.
*
Entah mengapa, para orang tua di Kampung Cihejo senang banget pada nama Mardimun. Konon dulu itu nama seorang preman yang terkenal kejam, bengis, tapi ampuh. Menjelang ajal ia bertobat, ia berubah drastis menjadi santri, alim, dan sangat dermawan.
Semua kekayaannya ia bagi-bagikan kepada warga, dan ia meninggal dalam keadaan sangat miskin. Sebaliknya warga mampu membuka aneka usaha dan berhasil. Rupanya warga terinspirasi dengan cerita itu. Dan mereka ikhlas menamai anak-keturunan mereka dengan nama Mardimun.
Sampai suatu hari mendadak timbul kegaduhan. Seru, dan agak mengkhawatirkan suasananya. Ternyata betul, kesamaan nama membawa kerumitan. Konon ceritanya terkait dengan si Siti saat mau menikah dengan Mardimun.
Kembang desa itu cantik dan legit, dan banyak pemuda maupun duda yang mau. Pada malam terakhir sebelum diselenggarakan akad nikah tanpa ba-bi-bu belasan Mardimun mengeroyok Mardimun calon pengantin. Padahal paginya ia harus duduk di pelaminan. Seisi desa geger, malam itu suasananya awat, seperti ada tawuran.
Pagi-pagi baru diketahui beberapa Mardimun terluka, sedangkan si pengantin tetap sehat dan tak terluka sedikit pun. Ia bahkan dengan penuh kemenangan duduk di pelaminan, tersenyum-senyum kecil, bersebelahan dengan Siti si kembang desa.
"Semalam kudengar ada keributan, Bang. . ." bisik si Siti di kursi pelaminan. "Ada apa?"
"Keributan? Ya, ada. Memperebutkan kamu. . . . !"
"Lho, bukankah Abang yang menjadi pacarku, melamar, dan kemudian akad nikah serta membiayai resepsi hari ini. . . . !"