Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Salah Suami-Istri Memaknai Arti Sehidup Semati

11 Maret 2020   19:22 Diperbarui: 11 Maret 2020   20:04 2966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjalani janji sehidup-semati sudah seharusnya diperjuangkan oleh setiap pasangan suami-isteri. Janji demikian dapat dimaknai dalam beberapa maksud. Pertama, hidup saling bersetia sampai salah satu meninggal dunia. Tidak akan berpaling ke lain hati, tidak akan mendua.

Kedua, bila salah satu (suami) mati maka yang lain (isteri) akan mengikuti mati. Zaman dulu ada kepercayaan agama seperti itu. Tetapi tidak ada cerita sebaliknya (isteri mati, suami sengaja masuk ke dalam api pembakaran jenazah isteri).

Jadi, ketika kita menghadiri sebuah resepsi pernikahan selain terasa nuansa kebahagiaan hari itu, bersamaan dengan itu muncul pertanyaan: Akan menjadi apa akhir perkawinan mereka kelak? Sanggupkah mereka tetap harmonis dan seiya-setia seperti janji sehidup semati?

Tidak mudah, dan perlu berjuang keras. Namun, tidak sedikit pasangan yang menempuh jalan asal-asalan, mengambil jurusan yang salah, bahkan ada yang memberi contoh sesat dan menyesatkan.

Berikut tiga peristiwa yang menggambarkan keputusan dan keyakinan pasangan suami-isteri dalam memaknai janji sehidup-semati. Tapi ini contoh buruk, atau ibroh, dan tidak untuk ditiru.

*

Diantar Ikan Buntal

Ikan buntal, disebut pula ikan bentuk, dikenal sebagai ikan beracun. Sangat beracun, yang kekuatan racunnya beriku kali lebih kuat dibandingkan dengan sianida.

Tetapi mengapa masih ada orang yang mengkonsumsinya? Pertama, karena tahu betul cara menghilangkan racun dan memasaknya. Di Jepang hanya juru masak dengan keahlian tertentu (dibuktikan dengan sertifikat) yang boleh memasak ikan buntal untuk dihidangkan kepada pelanggan.

Kedua, karena tidak tahu ikan itu sangat beracun, tidak peduli, atau sekadar coba-coba lantaran tidak percaya pendapat orang.

Hal kedua itu mungkin yang terjadi di Banyuwangi, seperti ditulis kompas.com, sebagai berikut:

Satu keluarga di Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, tewas setelah makan ikan buntal hasil pancingan, Selasa (10/3/2020).

Mereka adalah suami-isteri Muhlis Hartono (65) dan Dewi Ambarwati (50), dan mertua Muhlis - Siti Habsah (80). Satu balita selamat, kini dirawat kerabat sana.

Ikan itu dimasak bumbu santan dan dihidangkan sebagai menu makan. Berdasarkan keterangan kerabat, para korban mengeluh pusing setelah melahap masakan masakan ikan buntal itu.

Ini contoh suami-isteri yang mengambil keputusan salah. Sebuah kesalahan kecil yang membawa maut. Masakan ikan buntal itu rupanya tidak habis pada sekali makan.

Kesempatan berikut makan lagi dengan masakan itu. Berarti mereka tidak tahu bahwa ikan buntal yang menjadi penyebab mereka pusing, mulas, dan muntah-muntah, dibawa ke Puskesmas, tapi jiwanya tidak tertolong.  

*

Pergi Dengan Cara Berbeda

Ada banyak cara orang untuk pergi. Ada yang sabar menunggu jemputan, tapi tidak sedikit yang memilih pergi sendiri. Mungkin ia sudah tahu jalan dan tujuannya, atau nekat saja lantaran menemukan persolaan rumit tak terpecahkan.

Yang bikin sedih, salah satu dari mereka sempat menulis pesan kepada anak-anak. Mereka seperti akan pergi sebentar, bukan selama-lamanya.

Begitulah yang dilakukan pasanan suami isteri di Malang. Suami meminta bantuan  lilitan tali, sedangkan si isteri lebih suka racun. Begitu diwartakan kompas.com sebagai berikut:

Pasangan suami istri berinisial JW (42) dan YI (38), warga Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ditemukan tewas di rumah mereka, Selasa (10/3/2020). Dari pemeriksaan yang dilakukan polisi, kedua korban tewas karena diduga sengaja bunuh diri. Sebab, di saku celana JW ditemukan surat wasiat yang diperuntukkan bagi anaknya.

Keterangan saksi dan bukti masih dikumpulkan, ada dugaan mereka bunuh diri karena ada ketidakharmonisan keluarga. JW tewas setelah gantung diri (ada surat wasiat di saku celananya), sedangkan YI tewas menenggak racun (mulut berbuih). Saat ditemukan keduanya tertelentang di lantai.

Selain kemungkinan bunuh diri bersama-sama (dengan cara berbeda), ada kemungkinan lain, yaitu keduanya menjadi korban pembunuhan.

Kemungkinan lain JW meracuni isterinya YI terlebih dahulu, kemudian ia gantung diri (ia meninggal belakangan, terbukti masih sempat menulis surat wasiat). Ciri-ciri orang gantung diri pasti sudah ditemukan Polisi. Tetapi mengapa jenazahnya terlentang di lantai, adakah orang lain yang menurunkan dari gantungan?

Lepas semua persoalan di balik itu, mereka coba menasihati anak-anak, tetapi tidak mampu menasihati diri sendiri. Tragis, ironis,.

*

Bunuh Diri Untuk Membunuh Orang Lain

Para teroris punya pemikian yang bukan hanya sesat, tetapi juga menyesatkan. Mereka hendak membunuh orang lain (apapun penyebabnya) dengan cara membunuh diri mereka sendiri.

Peristiwa ini luar biasa kejam dan sadis karena ideologi dan pemahaman agama mereka yang berbeda, radikal, dan ekstrim. Bukan hanya pasangan suami-isteri, tetapi mengajak anak-anak pula untuk melaksanakan keyakinan mereka itu.

Mereka berharap orang lain mati dan masuk neraka, sedangkan mereka sendiri mati dan masuk surga. Mereka dan kelompok mereka berpendapat begitu.

Ahad, 13 Mei 2018, bom meledak di 3 gereja di Surabaya dengan korban 18 orang termasuk 6 orang keluarga itu.Terungkap kepala keluarga (suami/ayah) Dita Oepriarto (48), istri Puji Kuswati (43), serta 4 orang anak perempuan dan laki-laki (9, 12, 16, dan 18 tahun) ikut meledakkan diri. 

Sehari berikutnya, Senin, 14 Mei 2018, bom meledak di Polrestabes Surabaya. Pelakunya satu keluarga, yaitu suami/ayah Tri Murtiono (50) bersama istrinya Tri Ernawati (43) dan ketiga anaknya. Seorang anak pasangan teroris  itu terlempar, cedera tapi selamat. 

Tidak ada kata lain hanya para teroris dan (tentara pada masa lalu) yang mau dan berani melakukannya. Kebanyakan yang lain membunuh lebih dahulu (misal penembakan masal di Amerika Serikat), kemudian karena merasa bersalah, sudah puas melampiaskan kemarahannya, atau karena putus asa atas ancaman hukuman yang akan diterima maka si pelaku melakukan bunuh diri.  

*

Bukan Untuk Ditiru

Tiga peristiwa di atas (sekali lagi) bukan untuk ditiru, dan haruslah dijauhi. Para orangtua mesti berpikir jernih, jauh, dan matang. Bunuh diri, dan tindakan yang mengarah pada kematian (meski tidak berniat bunuh diri) merupakan tindakan salah, dan dilarang agama.

Jika suatu kesalahan seseorang dihukum berat (misal divonis hukuman mati), itu lebih baik. Pertanggungjawaban di dunia selesai, selama menunggu hukuman mati masih dapat bertobat.

Itu saja catatan kecil ini. Mudah-mudahan ada manfaat yang dapat dipetik. Lebih dan kurangnya mohon maaf. ***

Bandung, 11 Maret 2020

Sumber Gambar

Tulisan menarik sebelum ini:
mengapa-siswi-imut-harus-jadi-pembunuh
pesan-inspiratif-gitaris-fingerstyle-alip-ba-ta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun