Sudah cukup lama sebenarnya terdengar cerita dan dugaan-dugaan mengenai Puncak dikait-kaitkan dengan Arab. Bahkan ada yang menyebut ada kampung Arab di sana. Maka dalam keseharian pun digunakanlah hal-hal yang berbau Arab.
Makna "sudah agak lama" itu bisa berbilang tahun. Dan baru sekarang dibongkar Polisi. Praktik wisata halal yang ada di sana rupanya berjualan seks.Â
Arab, Halal
Mestinya dirinci lebih detil hingga tidak keliru antara Arab dengan TimurTengah. Sebab yang kearab-araban belum tentu dari Arab, dalam hal ini Arab Saudi atau Uni Emirat Arab. Bisa saja dari negara tetangganya, tetapi sama-sama dari Timur Tengah.
Karenanya dalam transaksi prostitusi yang berkedok halal itu pun terjadi perbedaan bahasa  yang tak terjembatani. Si Arab perlu ada wali dan ijab kabul, dan itu cara mereka dalam bertransaksi apapun. Sementara kata ijab-kabul bagi kita terbatas pengertiannya (dipersempit) menjadi proses sebuah perkawinan.
Maka muncullah sebutan kawin-kontrak. Bukan dalam hitungan bulan, apalagi tahun. Tapi hanya "short time", semalam, tiga hari, atau tujuh hari. Sebuah kawin kontrak yang sangat singkat. Dan demi kepentingan kawin (persuami-isterian), bukan nikah (cara agama dan negara menghalalkan sepasang manusia menjadi suami-isteri sah).
Yang hebat terjadi di Puncak itu, mengapa hanya Arab yang dijadikan konsumen? Awal mulanya dulu bagaimana? Mungkin pihak perempuan yang bakal dijadikan isteri orang-orang Arab sebelumnya para pekerja Indonesia di sana? Sehingga bahasa dan adat, dan terlebih kebiasaan para pria sana, sudah hafal betul untuk menjadikan semua hal tampak halal?
Mendunia, Promo Wisata
Wisata seks halal di kawasan Puncak Bogor terbongkar gara-gara beredar video promo wisata ini dan beredar di luar negeri melalui Youtube.
Itu ditulis media. Artinya, bila promosinya tidak beredar di Youtube tidak ada yang berani membongkar, karenanya tidak akan terbongkar. Demikian versi Polisi. Timbul tanda tanya, lalu apa saja yang dicermati oleh Polsek yang menangani wilayah Puncak? Benarkah mereka tidak tahu? Atau justru tutup mata, lantaran. . . . Â .?
Untuk itu perlu dilacak jauh ke belakang, apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Para mantan Kapolsek di sana dikumpulkan kembali untuk didengar keterangan mereka. Lalu dimintai tanggapan dan saran jalan keluar untuk mengatasi hal itu. Jangan-jangan selama ini ada kongkalikong antara kepolisian tingkat kecamatan itu dengan para mucikari.
Perlu dilacak juga bagaimana tanggapan MUI dan para tokoh masyarakat setempat. Apa dan mengapa bisa terjadi? Apa peran yang sudah mereka lakukan untuk mencegah hal-hal buruk itu? Jangan-jangan mereka pun tidak peduli, tidak tahu-menahu, tahu tapi pura-pura bisu, dan alasan lain yang intinya tidak terlibat, dan tidak ingin dilibatkan.
Puncak yang dulu terkenal sebagai kawasan wisata, lambat-laun bertambah satu sebutan. Yaitu kawasan kawin kontrak antara perempuan setempat dengan wisatawan Arab. Promo di lokal tidak ada, tetapi promo internasional gencar adanya.
Label, Purbalenyi
Karena berlabel halal tersebut maka tidak pernah ada pemberitaan mengenai kasus mabuk-mabukan, atau miras oplosan, juga penyalahgunaan narkoba di sana. Tidak ada, atau tidak terekspose saja?
Padahal dunia prostitusi selalu dekat dengan kehidupan malam. Dan kehidupan malam tak jauh-jauh dari pemakaian minuman keras, peredaran narkoba, perilaku premanisme, dan peristiwa kriminal.
Polisi belum mengungkap sampai ke sana, atau memang tidak ada? Dan karena tidak ada hal-hal yang mencurigakan, sedangkan transaksi prostitusi pun bernuansa halal, maka "aman terkendali" saja sebutannya? Terlebih para pendatang merupakan wisatawan dari Arab, mereka orang baik-baik semuakah?
Tiba-tiba saja ada berita yang menggunakan kata "terbongkar". Mungkin kata lain dapat digunakan "terkuak, terlacak, terbuka, dan ter-ter yang lain".
Mengejutkan tentu bagi yang belum pernah lewat puncak pada malam hari, ketika sejumlah orang berdiri di pinggir jalan. Mereka menawarkan vila kapada para pemotor maupun pemobil yang lewat. Â
Sebelum ada jalan tol Purbalenyi  (Purwakarta-Bandung-Cilenyi), perjalanan Bandung -- Jakarta, dan sebaliknya, hanya dapat dilakukan melalui Puncak. Beberapa saat kemudian dapat juga lewat Jonggol. Beberapa kawasan di sana menjadi jalur macet, karena pasar tumpah dan berbagai keramaian lain.
Sosial-Ekonomi, Â Pekerjaan
Setelah sekian lama suatu kegiatan berlangsung, maka pastilah ada aktivitas ekonomi ikutannya. Ketergantungan sedikit-banyak ada. Dari mulai warung dan restoran, toko kelontong, pedagang asongan, tukang gunting rambut, penjual pulsa, hingga tukang parkir, dan berbagai tenaga kerja lain mengandalkan ekonomi dari sana. Â Â Â
Tentu saja yang paling terpukul adalah para pemilik vila. Langganan yang selama ini datang akan berkurang, jauh berkurang. Sampai jangka waktu tertentu. Sampai citra sebagai kawasan mesum sedikit demi sedikit sirna.
Maka bersamaan dengan upaya polisi memberantas praktik wisata halal tersebut perlu dibarengi dengan tindakan lain yang bersifat sosial-ekonomi. Jangan sampai timbul hal-hal yang tidak diinginkan karena ketiadaan pekerjaan pengganti.
Kawasan wisata lain yang berpotensi terjadi praktik serupa pun harus diwaspadai, dan secepatnya diatasi sebelum menjadi besar dan mendunia seperti Puncak.
Momentum, Kedok
Nah, itu saja. Wisata halal memang perlu dipromosikan besar-besaran untuk menarik wisatawan muslim dari berbagai belahan dunia. Tetapi promosi wisata seks halal ditutup saja. Tidak perlu ada lagi. Terbongkarnya Puncak menjadi momentum bagi Polri dan jajaran terkait untuk membongkar praktik serupa di kawasan lain di seluruh anah air, apapun labelisasinya.
Sudah banyak orang terbongkar bermain politik berkedok agama, jangan tambahi lagi urusan wisata mesum dengan label halal. *** Sekemirung, 17 Februari 2020
Sumber referensi dan GambarÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H