"Aku kasihan pada orang yang gampang terkecoh kata murah. Biasanya kurang cermat, jatuhnya mahal. Bahkan lebih mahal. Lalu menyesal, dan mengeluh. . . . .!"
"Lalu bertanya kepada Bu Rosmalin? Nah, itu saya. . . . !"Â
Aku terpana melihat caranya bicara, bukan isinya. Luwes, dan tak bosan untuk dilihat. Perempuan cantik di depanku itu sepantaran Marini, isteriku. Kalau saja ia sedikit menurunkan egonya mungkin banyak lelaki yang naksir dan rela mempersuntingnya. Tapi ia memang galak, egois, terlalu pinter, hingga tampak tak butuh pendamping.
"Terima kasih sarannya, Bu. Saya juga berangan-angan seperti itu, kalau saja. . . . . .!"
"Baguslah. Kalau kamu punya pikiran bahwa di tempat lain bakal lebih nyaman maka pendapat itu tidak selamanya benar. Banyak keluarga yang justru terus saja berpindah-pindah rumah karena tidak kerasan, merasa tidak nyaman, dan berharap rumah lain bakal mengatasi semua perasaan tidak enak itu. . . .!"
'"Mungkin sewanya dinaikkan, Bu. . . . . hehehe?" jawabku bercanda.
"Entah. . . . .!" ucap Bu Rosmalin seraya meninggalkanku begitu saja.
Aku menyesal telah mencandainya. Ia tipe perempuan yang selalu serius, tentu tersinggung ia oleh jawabku tadi. Tapi ceritanya juga kebangetan. Setahuku, tidak ada orang yang suka berkawan dengan banjir, dan apalagi memberi tumpangan khusus untuk mereka. Gila apa? Tidak ada juga orang yang hobi pindah-pindah rumah, kecuali punya banyak rumah, tugas kantor dipindah, atau mungkin punya beberapa isteri. . . . ! *** (Bersambung) -- 29 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H