Aku mengangguk-angguk saja. Tidak ingin membantah. Bersabarlah, itu salah satu kata penting selain bersyukur bagi setiap muslim.
Namun, aku sama sekali tidak puas dengan jawaban itu. Aku ingin ketegasan, misalnya: "Tinggalkan rumah itu, jual murah, dan cari kontrakan." Atau ini, "Jangan mau dipecundangi banjir yang setiap penghujan pasti menyambangi. Komplit dengan segenap basah, bau, kotor, dan becek yang membuat hidup sama sekali tidak nyaman itu."
Ketegasan! Tapi siapa yang di tengah kepungan banjir masih punya rekam jejak hidup tegas sedemikian?
*
Tiga hari kemudian ada kesempatanku bertemu dengan kepala kantor. Ini kesempatan emas. Aku ingin sekali mendapatkan pendapatnya. Serba ringkas kuceritakan tentang rumahku yang kebanjiran, lalu minta tanggapan: apa solusi terbaiknya.
"Pertimbangannya banyak untuk sampai pada satu keputusan dan jalan keluar, Ben. Kalau kamu sudah merasa cocok dan nyaman tinggal di kawasan itu buatlah rumah menjadi tiga atau empat lantai.. . . ."
"Tiga atau empat lantai?"
"Ya. Lantai pertama dan kedua khusus untuk rumah banjir. Jangan lupa banjir juga mahluk, seperti kita. Butuh rumah. Rumah-rumah mereka selama ini sudah banyak digusur. Untuk jalan, untuk pabrik, untuk perumahan. Mungkin termasuk rumahmu itu dulunya rumah banjir. . . Â !"
"Hahaha. Rumah banjir, aneh. Apa banjir juga perlu rumah?"
"Renungi sendiri soal itu. Kulanjutkan jawab atas pertanyaanmu tadi. Lantai ke atas selanjutnya untuk kehidupanmu dengan anak dan isteri. Soal kapan waktunya membangun, ini menjadi kesulitan lain. Saat ini cuaca sudah tidak menentu, tidak bisa diprediksi. Apa boleh buat, saat ini tidak ada lagi musim penghujan dan kemarau. Kapan saja bisa hujan lebat, disertai banjir bandang tak terbendung. . . . . .!" kata Bu Rosmalin dengan suara lancar dan fasih. "Ah, tapi kalau boleh mengulang masa lalu, kenapa pilihanmu pada rumah itu? Memilih itu syaratnya harus mampu mencari pembanding yang terbaik!"
"Murah. . . .?"