*
Dua hari kemudian di kantin kantor, kuceritakan halku di depan karibku Arfin. Ceritaku tentang pertanyaan isteriku, juga tentang jawabanku, yaitu mengenai cara terbaik menyikapi rumah yang rajin disatroni banjir.
"Jawabanmu benar, Ben. Tapi kurang pas. . . . !"
"Pas? Bagaimana yang pas menurutmu?"
Arfin tersenyum geli. Jawaban belum dilontarkan, tapi rasa geli sudah mengguncang-guncang syaraf humornya. Tubuhnya tampak mengiigil oleh tawa tertahan.
"Ini bukan perkara main-main. Jangan tertawa. . . .!" tegasku serius.
"Andai aku yang harus menjawab. . . . .!"
"Ya, tapi kamu 'kan bukan suami isteriku? Tidak mungkinlah kamu yang menjawab. . . .!"
"Nah, itu kelucuan pertama kenapa aku tertawa. Kelucuan kedua, jawabanku: Sabarlah, Bu. Kita ini hanya korban.. . . ."
"Hanya korban, bagaimana?"
"Para tetanggalah yang mestinya mengalami kejadian ini. Hanya mereka yang berhak, kita tidak. Mereka buang sampah sembarangan, malas membersihkan selokan, tidak pernah ikut kerja bakti mempertinggi tanggul sungai. Namun sebagai warga, kita harus solider. Allah tidak mungkin mengisitimewakan kita untuk terhindar dari banjir, sementara warga berbagai daerah lain mengalaminya. Sabarlah, Bu. . . .!" ucap Arfin dengan nada dan intonasi suara meniru-niru suaraku, setelah tuntas suara tertawanya. Â