Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerajaan Fiktif, Modus Penipuan, dan Hikmah

24 Januari 2020   16:13 Diperbarui: 24 Januari 2020   16:16 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan keraton fiktif di atas dapatlah disebut sebagai modus penipuan. Setidaknya tiga modus telah dilakukan, pertama, mengarang dongeng (asal-usul, sejarah, hingga keharusan melakukan ritual mistis tertentu). Kedua, menjual pangkat/jabatan (pangkat/jabatan memiliki nilai, makin tinggi makin mahal), dan ketiga, memberi janji (gaji besar, tidak terkena bencana/musibah).

Tiga modus penipuan yang dilakukan Toto maupun Fanni sudah tersebar luas di media. Siapapun akan heran pada orang-orang yang tertipu, mungkin merasa geli, dan bahkan menganggap si korban tidak mampun berpikir jernih sehingga mudah tertipu.

Namun, tiga modus penipuan itu banyak dilakukan oleh penipuan dalam bentuk lain. Korbannya sangat banyak, dan ada diantara mereka yang merasa heran sendiri kenapa bisa tertipu. Iming-iming uang, hadiah, murah, mudah, dan hal lain semacam itu membuat orang terbuai, terlena, lupa daratan, dan baru menyadari kemudian telah tertipu.

*

Tiga modus penipuan seperti yang terjadi di Keraton Agung Sejagat di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

Penipuan pertama dengan modus mengarang dongeng. Dongeng itu cerita lama, penuh khayalan, dan tidak benar-benar terjadi. Maka Toto Santoso maupun Fanny Aminadia perlu mengarang kaitan diri mereka dengan zaman kerajaan di masa lalu.

Mendongeng dapat dilakukan oleh siapa saja. Keahlian berbicara dan mereka-reka peristiwa menjadi syaratnya. Karena itu pejabat publik yang banyak janji -dan banyak pula yang tidak ditepati- tak ubahnya kelakuan Raja Keraton abal-abal. Mereka cerdik mengarang dongeng.

Penipuan kedua dengan modus menjual pangkat/jabatan. Modus itu banyak terjadi di dalam pelaksanaan roda Pemerintahan.  Sebutan lebih tepatnya "jual-beli" pangkat/jabatan, seperti yang sejumlah Bupati ketika mereka menjabat. 

Penipuan ketiga memberi janji palsu. Itulah memang modal utama para penipu. Para professional sejak dari niat sudah ingin menipu. Berbagai cara, trik, hingga hipnotis dilakukan. Korbannya orang yang lengah, lemah, dan kurang wawasan.

Ada penipuan dengan modus umroh murah. Untuk urusan ibadah pun ada yang tega menjadikannya lahan penipuan. Lalu ada investasi bodong, diantaranya dengan metode Ponzi. Lalu berbagai penipuan melalui internet: uang sudah terkirim si korban tetapi barang, hadiah, dan pelatihan kerja yang dijanjikan oleh si penjual,  institusi pemberi hadiah, maupun lembaga pencari kerja, tidak ada. Korban baru menyadari ia telah tertipu iklan maupun penawaran yang berlebih-lebihan dan tidak masuk akal.

*  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun