Senin pagi Karmin sibuk seperti anak-anak lain. Ia mempersiapkan diri untuk masuk sekolah. Setelah mandi di kamar mandi umum, lalu berganti pakaian dan mempersiapkan piranti lain.
Ramli dan Todi tertawa saja. Keduanya mengintip di balik selimut bergaris. Mereka masih bermalas-malasan di atas tempat tidur kayu, dengan kasur kapuk tipis. Tak lama keduanya terbangun.
"Sekolahmu masuk jam berapa, Min?" tanya Ramli sambil menahan tertawa.
"Jam tujuh. . . .!"
"Nama gurumu Abah Sabar 'kan?" sambung Todi dengan suara mengejek.
Karmin menoleh dan tersenyum. Wajahnya hitam, rambut mulai memanjang keriting, tapi senyumnya manis sekali. "Ya, sesekali saja Abah Sabar mengajar. Yang sering Bu Lela, Mang Dul, serta Tante Pratiwi. . . . .!"
"Mereka mengajar apa?" tanya Ramli lagi.
"Banyak. Seperti sekolah yang lain. .. . . ."
"Bukankah mereka bukan guru? Mereka hanya pemulung, tukang parkir, dan tukang lotek? Apa mereka bisa memberi ilmu?"
Karmin tidak menanggapi, hanya tersenyum kecut seperti membenarkan. Ia tidak tersinggung. Sekolah baginya merupakan cita-cita yang terputus. Dulu ia sampai kelas 3. Tapi dikeluarkan sekolah karena tidak bisa bayar uang buku dan seragam. Setelah itu ia menjadi pemulung untuk membantu orangtua.
Itu sebabnya ia suka bersekolah, meski pengajarnya bukan guru yang sebanarnya. Ia tidak malu. Ia mengikuti apa kata Abah Sabar. Ia bilang sekolah itu artinya belajar. Dan belajar bisa di mana saja, bisa tentang apa saja.
"Sekolahku memang tidak seperti sekolah yang lain. Tapi ada pelajaran penting di sana, yaitu belajar jujur. Kukira kalianpun perlu pelajaran itu. . . . .!" ucap Karmin dengan suara mengejek.
Mendengar jawaban itu Ramli dan Todi tersentak. Keduanya kurang suka kalau disinggung-singgung soal kejujuran.
Dengan keduanya bangkit dari tempat tidur dan hendak mengejar Karmin. Tetapi lelaki hitam itu lebih cekatan, tanpa suara ia keluar petak sempit itu.
Setengah berlari ia menenteng persiapan sekolahnya. Bukan buku dan alat tulis, tetapi kantong plastik besar, tongkat berujung besi pengait, topi kain, penutup hidung, serta sandal beda warna. Buru-buru ia berjalan ke luar deretan rumah petak itu. Melewati gang-gang sempit, jalan berbatu, hingga mencapai jalan raya. Pukul enam pagi, lalu lintas belum terlalu padat.
*
Sesampai di kolong jembatan tol suasana masih sepi. Kios-kios masih tutup, gerobak berjajar. Ia pun segera memasang meja-meja kayu, juga bangku panjang untuk duduk. Itu tugas rutinnya.
"Selamat pagi, Karmin. Rajin sekali kamu hari ini?" tanya Abah Sabar dengan suara besar mengagetkan. Wajahnya tua dan selalu cerah, tertawa lebar. Rambut panjang di kepala, kumis dan janggut yang sama putih bergerak-gerak tertiup angin.
"Selamat pagi, Abah. Aku harus rajin, supaya pinter. . . . . !" jawab Karmin mengulang ucapan Ibunya yang setahun lalu sebeloum menghilang bersama air bah. Â
Lelaki tua itu tertawa, dan memuji. "Ya, bagus. Abah senang. Setiap anak memang harus bersemangat dan rajin belajar. Meskipun. . . . .," ucap Abah Sabar tanpa meneruskan kalimatnya. Karmin sudah tahu terusannya.
Hari itu yang datang ke sekolah hanya lima anak. Biasanya sampai belasan anak. Mereka seusia sekolah. Tapi dengan berbagai alasan memilih jadi pemulung, pedagang asongan, kuli angkut, tukan parkir, dan penjaja kue.
"Pelajaran hari ini mengenai kerja keras dan jujur. Hidup jangan malas, harus berani berkeringat dan menghadapi kesulitan.. . . .," Abah memulai pelajarannya di tempat yang sederhana itu.
"Harus berani berkeringat dan kehujanan. . . ." tambah anak si tukang parkir.
"Harus berani berkeringat dan dikejar-kejar petugas. . . . !" sahut si panjaja asongan.
Anak-anak lain menyahut menurut pikiran dan kemauan masing-masing. Bebas, tidak ada yang salah. Suasana jadi ramai, meriah. Abah Sabar berhasil memancing perhatian dan kemampuan tiap anak untuk bersuara. Dalam penilaian sendiri, semakin gaduh suasana kelas semakin baiklah caranya mengajar.
"Hhahaha. . . .sudah, sudah. Biar Abah meneruskan bicara."
 "Bicara, Abah. Jangan cuma diam. . . . . hahaha!" teriak si kuli angkut bersemangat.
Murid dan guru sekolah kolong jembatan itu pun tertawa spontan. Kompak, dan keras suaranya bersaing dengan bunyi klakson, deru knalpot motor, dan bising mesin mobil yang melintas di atas kepala mereka.
"Nah, kalian dengarkan. Dulu sewaktu muda, Abah bekerja keras sebagai petani. Lalu menjadi tukang bangunan, dan terakhir menjadi sopir truk. Namun karena tidak jujur, nasib Abah tidak pernah berubah. Abah menyesal, kemudian bertobat. Kini Abah  menasihati kalian:  jangan ikuti jejak Abah. Curang itu buruk, curang itu nista. Berlakulah jujur sejak dari hati . . . . .!"
Hanya dua puluh menit pelajaran hari itu. Guru lain berhalangan. Jadi boleh bubar.
*
Kalau empat guru datang biasanya tidak lebih dari satu setengah jam sekolah berlangsung. Singkat, padat, dan bermanfaat. Tetapi pelajaran sesungguhnya di sekolah itu tak lain mempraktikkan pesan para guru. Kali ini pesan Abah Sabar yaitu menjadi anak yang jujur. Â
Sekolah bagi mereka hanya sambilan. Pekerjaan utama mereka pemulung. Tiap hari mengumpulkan botol-botol minuman bekas, kaleng, kardus, dan rongsok lain.
Pelajaran Abah Sabar, pertama, bekerja keras. Tidak mudah mengeluh dan giat. Kedua, berlaku jujur. Tidak mencuri, tidak memaksa, dan tidak mengemis. Ketiga, bersikap santun kepada siapapun. Selama ini para pemulung ak jarang mencari kesempatan untuk mencuri. Jemuran, perkakas yang dijemur, atau  hewan piaraan menjadi sasaran pula. Â
*
Sore hari Karmin kembali ke rumah petak dengan tubuh kelelahan. Seharian ia  membawa uang paling sedikit lima puluh ribu rupiah. Dua puluh ribu untuk ongkos makan. Lima belas ribu ia serahkan kepada pemilih rumah petak. Sisanya ditabung.
"Ini sewa saya hari ini, Mak Minah. Alhamdulillah . . . . !" ucap Karmin ketika hendak mandi ke kamar mandi umum di ujung gang.
"Terimakasih, Min. Kamu selalu disiplin. Tidak pernah nunggak. . . . !" sambut Mak Minah dengan wajah senang. "Sekolahmu, bagaimana?"
"Hahaha. Sekolah kolong jembatan tol itu? Hari ini Abah Sabar mengajari kejujuran, kerja keras dan tidak mudah mengeluh. Itu modal penting dalam hidup!" jawab Karmin. Ia sepintas melihat Ramli dan Todi keluar kamar dengan wajah sedih. "Kenapa mereka, Mak?"
Mak Minah berbisik ke telinga Karmin. "Mereka harus pergi dari kamarku. Sudah seminggu ini keduanya nunggak sewa. Mak sudah berbaik hati menunggu, tapi mereka tidak tahu diri. . . .!"
Karmin memandang keduanya yang berjalan menjauh. Sedih sebenarnya berpisah dengan teman. Tapi mereka bukan teman yang baik. Mereka membawa pengaruh buruk. Selain suka mengejek dan pemalas, mereka pernah terangkap tangan berlaku panjang tangan.. ***
Sekemirung, 19 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H