"Sekolahku memang tidak seperti sekolah yang lain. Tapi ada pelajaran penting di sana, yaitu belajar jujur. Kukira kalianpun perlu pelajaran itu. . . . .!" ucap Karmin dengan suara mengejek.
Mendengar jawaban itu Ramli dan Todi tersentak. Keduanya kurang suka kalau disinggung-singgung soal kejujuran.
Dengan keduanya bangkit dari tempat tidur dan hendak mengejar Karmin. Tetapi lelaki hitam itu lebih cekatan, tanpa suara ia keluar petak sempit itu.
Setengah berlari ia menenteng persiapan sekolahnya. Bukan buku dan alat tulis, tetapi kantong plastik besar, tongkat berujung besi pengait, topi kain, penutup hidung, serta sandal beda warna. Buru-buru ia berjalan ke luar deretan rumah petak itu. Melewati gang-gang sempit, jalan berbatu, hingga mencapai jalan raya. Pukul enam pagi, lalu lintas belum terlalu padat.
*
Sesampai di kolong jembatan tol suasana masih sepi. Kios-kios masih tutup, gerobak berjajar. Ia pun segera memasang meja-meja kayu, juga bangku panjang untuk duduk. Itu tugas rutinnya.
"Selamat pagi, Karmin. Rajin sekali kamu hari ini?" tanya Abah Sabar dengan suara besar mengagetkan. Wajahnya tua dan selalu cerah, tertawa lebar. Rambut panjang di kepala, kumis dan janggut yang sama putih bergerak-gerak tertiup angin.
"Selamat pagi, Abah. Aku harus rajin, supaya pinter. . . . . !" jawab Karmin mengulang ucapan Ibunya yang setahun lalu sebeloum menghilang bersama air bah. Â
Lelaki tua itu tertawa, dan memuji. "Ya, bagus. Abah senang. Setiap anak memang harus bersemangat dan rajin belajar. Meskipun. . . . .," ucap Abah Sabar tanpa meneruskan kalimatnya. Karmin sudah tahu terusannya.
Hari itu yang datang ke sekolah hanya lima anak. Biasanya sampai belasan anak. Mereka seusia sekolah. Tapi dengan berbagai alasan memilih jadi pemulung, pedagang asongan, kuli angkut, tukan parkir, dan penjaja kue.
"Pelajaran hari ini mengenai kerja keras dan jujur. Hidup jangan malas, harus berani berkeringat dan menghadapi kesulitan.. . . .," Abah memulai pelajarannya di tempat yang sederhana itu.