Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pemulung dan Segayung Air Keran (Tiga)

16 Januari 2020   21:45 Diperbarui: 16 Januari 2020   22:04 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
segayung air keran--niaton.com

Cerita sebelumnya: Ada mata seperti curiga, ternyata sedang sibuk mengingat-ingat kisah masa lalu. Kisah yang diduga melibatkan si Emak sebagai salah satu pelakunya. Pak Hamid penasaran, tak yakin, tapi Yu Sawiji tak menanggapi. Begitupun Pak Hamid bermurah hati membeli rongsok yang dibawa kedua pemulung.

*

Tiga

Yu Sawiji tidak mendengarkan lebih lanjut apa yang didongengkan lelaki itu. "Bohong. . . .," komentarnya dalam hati.

Uang dua ratus ribu di tangannya segera mengingatkannya pada sebungkus nasi Warteg, dan perut kenyang.

Nasi panas-panas,  dengan dadar telur, sayur kangkung, tempe goreng, kerupuk, dan sambel untuk dirinya. Sebungkus lagi nasi ayam gule, tambah goreng tahu, tanpa sayur dan sambel, untuk Rusmina. Oya, minumnya teh es manis dingin. Ah ah.

Perempuan itu berjalan pelan-pelan ke luar pagar. Ia tahu banyak mengenai akal bulus lelaki. Ia pun pernah terpikat cerita satu dari mereka. Bercerita apa saja yang membuat orang lain penasaran, dan buntutnya apa? Watak durjana muncul. Penampilan boleh alim dan santun, tapi siapa tahu di dalam hatinya?

Dengan bergegas Yu Sawiji mengambil karung plastik besar miliknya. Terasa berat isinya. Lalu menggandeng Rusmina, lalu keduanya berjalan di trotoar, di sisi jalan yang sibuk dan padat oleh lalu-lintas jalan raya. Si lelaki bersarung-peci berteriak memanggil, tetapi yang dipanggil tidak sekalipun menoleh.

*

Pemulung itu memperlihatkan lembaran merah pada Rusmina. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Senang tentu saja. Segayung air keran berbuah dua lembar ratusan.

Jalanan ramai belum berkurang. Padat, dan riuh. Matahari mulai bergeser ke barat. Namun, terik dan panas belum berkurang.

Di perempatan jalan, di seberang jembatan sana, Yu Sawiji dan Rusmina melihat di kejauhan sebuah warung nasi. Cukup ramai pembelinya. Setengah berlari keduanya ke sana.

"Apa yang diucapkan Pak Hamid tadi mungkin benar. . . !" ucap Yu Sawiji dengan wajah diliputi kegembiraan karena mendapatkan uang dengan gampang.

"Bapak tadi bilang apa, Mak? Aku tidak mendengar!" sahut Rusmina.

"Dia bilang, Mak seperti bocah perempuan 2 tahun yang dibawa lari isteri muda bosnya. Ia hafal wajah emak. Dulu ia bekerja sebagai sopir pribadi. Peristiwanya sekitar 20 tahun silam. Mungkin ia hanya ngarang saja. Membuat-buat cerita khayal dengan maksud lain. . . . . .!" ujar Yu Sawiji dengan nada was-was.

"Emak tidak tanya lebih lanjut? Siapa tahu cerita itu benar. Nasib kita bisa berubah, tidak seburuk sekarang. . .. . "

"Kamu pinter. Tapi terlalu mudah percaya orang yang baru dikenal. Zaman sekarang setiap orang harus waspada. Penipu ada di mana-mana. . . . . !"

"Tapi kita 'kan hanya pemulung. Tanpa harta. Apa untungnya menipu kita?"

Yu Sawiji tersenyum. "Harta mungkin tidak, tapi organ tubuh?"

"Organ tubuh, apa itu mak?"

"Apa saja yang ada di tubuh kita. Bola mata, ginjal, hati, kulit, dan entah apa lagi.. . .  !" gumam Yu Sawiji menjelaskan. Meski tak lulus SD ia sangat suka membaca. Koran-koran bekas dibacanya dengan rakus.

"Begitu ya?"

"Kamu juga harus pintar. Meski tanpa sekolah. Kalau sekolah kamu sudah kelas 3. Kita sekolah bersama di jalanan, tidak di ruang kelas .. . . . !"

"Apa aku kelihatan pintar, Mak?"

"Akan lebih pintar kalau sekolah. Tapi emak tidak punya biaya. Kalau punya biaya pasti kita tidak perlu jadi pemulung. . . . . !" jawab Yu Sawiji.

Kedua pemulung itu masuk ke dalam warung nasi, Warteg. Dan memesan dua bungkus nasi serta dua es teh manis. Yu Sawiji mengangsurkan selembar uang merah yang dimiliknya.

Pak Tua pemilik warung melayani dengan gesit. Pembeli antri, yang makan di empat pun banyak. Tak lama pesanan Yu Sawiji diserahkan.

"Ini uangnya, Pak. Berapa?"

"Gratis. Khusus hari ini untuk pemulung, pengamen, pengemis, dan gelandangan gratis. Boleh makan sepuasnya, dan kusarankan dibungkus supaya tidak mengganggu pelanggan lain.. . . ."

"Gratis, Pak?"

"Simpan kembali uangmu untuk keperluan lain.. . . . !"

Yu Sawiji dan Rusmina kembali tertawa-tawa. Senang. Keberuntungan berlanjut. Ia baru tahu kalau hari tertentu warteg itu gratis bagi orang miskin sepertinya.  

"Ah, bapak baik sekali. Mudah-mudahan rezeki bapak bertambah banyak dan berkah. Terima kasih. . . ." ucap Yu Sawiji ketika menerima pesanannya.

Keduanya bergegas ke sebuah taman kota. Mencari tempat rindang untuk menikmati keberuntungan mereka hari itu.  Dua lembar uang merah, ditambah dua bungkus nasi dan es teh dingin manis gratis. Ohh, indahnya hidup ini. . . .!

"Bismillah. . .. . !" ucap Rusmina mengawali doa. Diikuti Yu Sawiji. Dan keduanya makan dengan lahapnya.

*

Setelah kenyang keduanya beristirahat.  Keduanya duduk berjauhan, masing-masing di bawah pohon rindang di trotoar jalan, bersandar pada bungkusan besar berisi aneka rongsok dan kardus. Dan tak lama keduanya seperti terayun-ayun antara sadar dan lelap oleh kantuk, letih, dan kenyang menjadi satu.

Dalam terlelap itu Yu Sawiji bermimpi seperti bertemu dengan orang setengah tua yang memangil-manggilnya. Tersenyum dan hendak memberikan sesuatu. Tidak ada sepatah kata pun diucapkan.

Yu Sawiji tiak tahu siapa perempuan setengah tua  itu. Ia berpikir keras. An saat itu ia terbangun. Lalu melihat ke sekeliling. Tapi Rusmina tidak ada. Karung plastik saja yang ditinggalkan.

"Min. . .  Min. . .! Tertidur ya?" seru Yu Sawiji dengan suara geragapan. Di bawah pohon sebelah tidak ditemukannya Rusmina. Hanya karung plastik besar yang tertinggal di situ. 

Yu Sawiji terjingkat kaget, langsung berdiri, dan menebar pandangan ke sekeliling. Berlari ke sana -- ke mari. Memanggil-manggil Rusmina dengan suara keras. Tapi gadis 9 tahun itu tidak tampak di matanya.

*

Rusmina bersembunyi di balik barang-barang sebuah toko. Ia ingin menguji hati emaknya, apakah betul ia anak perempuan itu. Karena beda umur hanya 15 tahun. Jadinya seperti kakak dan adik, bukan seperti ibu dengan anak.

Ia melihat dari kejauhan emaknya berlari pontang-panting sambil memanggil-manggil namanya. Tampak sekali ia sedih dan bingung bercampur aduk.

Saat itu entah bagaimana Pak Hamid menemukan Rusmina.

"Hei, Nak. Kamu di sini? Bukankah kamu dan emakmu yang tadi minta air untuk minum?"

Rusmina hanya mengangguk. Ia ketakutan, entah apa yang diinginkan bapak itu. Seperti kekhawatiran emaknya, Rusmina pun was-was, jangan-jangan bapak itu penjahat.

Pak Hamid tampak menelepon seseorang. 

*

Ketika Rusmina ke luar dari persembunyiannya Yu Sawiji pun berada tak jauh dari situ. Dengan cepat ia mendekati Rusmina dan hendak mengajaknya pergi. Namun Pak Hamid mencegah.

"Nah. Ketemu lagi. Ayo, kupertemukan dengan orang yang tidak kalian sangka. Mereka belasan tahun mencarimu. . . . . . !" bujuk Pak Hamid kepada Yu Sawiji dengan suara rendah, seperti memohon.

Tetapi kecurigaan Yu Sawiji dan Rusmina semakin besar. Tanpa sepengetahuan Pak Hamid keduanya bertukar isyarat dengan gerak tubuh. Ketika Pak Hamid mempersilakan keduanya masuk ke dalam mobilnya, ada kesempatan sangat sempit untuk lari. Maka kedua cepat-cepat ambil langkah seribu.  

"Lari Min, ayo lari. Jangan mau mengikti bujukannya. . . . ! Lari, Min. . . .!" teriak Yu Sawiji 

Yu Sawiji menggandeng tangan Rusmina, keduanya hendak menyeberang jalan. Tangan mereka melambai-lambai, minta jalan untuk memotong jalan.

Tapi laju lalu linas tidak dapat diperintah dengan mendadak. Sebuah truk sarat muatan melintas tanpa sempat mengerem. Bus besar di belakangnya terkaget-kaget. Demikian pula beberapa sepeda motor. Kekacauan terjadi di jalan raya itu.

*

Sunyi, sepi, dan terasa kosong. Tidak ada suara, tanpa angin, tidak ada apa-apa.

"Alhamdulillah, sopir truk barang itu baik hati, Min. Ia banting stir agar kita terhindar . ..!"

"Tapi . . , Mak. Lihat. Ada apa ini? Kenapa orang-orang itu merubung kita, Mak?"

"Itu boneka yang tercecer dari dalam truk. Perhatikan baik-baik. Cuma boneka. Mirip kita ya? Ayo, terus lagi, Min. . . .?"

"Mak? Kenapa aku ini?"

"Min. . . . . !?" 

Keduanya merasa semua serba ringan, riang, lepas, bebas, dan menakjubkan. Mata jadi benderang, juga telinga, ingatan. Jernih.  Seperti terlepas dari kurungan sempit. Meninggalkan dua boneka yang memar dan basah oleh bercak kemerahan di aspal. . . .! (Habis) ***

Sekemirung,  24 Feb 2018 -- 16 Jan 2020

 Gambar

Simak juga bacaan sebelumnya:

cerpen-pemulung-dan-segayung-air-kran

alhamdulillah-ternyata-mall-masih-tutup

tiga-nama-beken-di-awal-tahun

puisi-kanvas-terakhir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun