"Kamu juga harus pintar. Meski tanpa sekolah. Kalau sekolah kamu sudah kelas 3. Kita sekolah bersama di jalanan, tidak di ruang kelas .. . . . !"
"Apa aku kelihatan pintar, Mak?"
"Akan lebih pintar kalau sekolah. Tapi emak tidak punya biaya. Kalau punya biaya pasti kita tidak perlu jadi pemulung. . . . . !" jawab Yu Sawiji.
Kedua pemulung itu masuk ke dalam warung nasi, Warteg. Dan memesan dua bungkus nasi serta dua es teh manis. Yu Sawiji mengangsurkan selembar uang merah yang dimiliknya.
Pak Tua pemilik warung melayani dengan gesit. Pembeli antri, yang makan di empat pun banyak. Tak lama pesanan Yu Sawiji diserahkan.
"Ini uangnya, Pak. Berapa?"
"Gratis. Khusus hari ini untuk pemulung, pengamen, pengemis, dan gelandangan gratis. Boleh makan sepuasnya, dan kusarankan dibungkus supaya tidak mengganggu pelanggan lain.. . . ."
"Gratis, Pak?"
"Simpan kembali uangmu untuk keperluan lain.. . . . !"
Yu Sawiji dan Rusmina kembali tertawa-tawa. Senang. Keberuntungan berlanjut. Ia baru tahu kalau hari tertentu warteg itu gratis bagi orang miskin sepertinya. Â
"Ah, bapak baik sekali. Mudah-mudahan rezeki bapak bertambah banyak dan berkah. Terima kasih. . . ." ucap Yu Sawiji ketika menerima pesanannya.