Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pemulung dan Segayung Air Kran

13 Januari 2020   16:21 Diperbarui: 13 Januari 2020   16:15 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar matahari panas menyengat seperti mengelupasi kulit. Keringat bercucuran, sekujur tubuh kuyup dibuatnya. Juga kerudung hijau yang sudah belel warnanya. Lalu-lintas merayap beringsut-ingsut lambat. Polusi udara dan suara bising merambah pinggiran kota yang padat penduduk itu.

Seorang perempuan kecil dan emaknya berjalan beriringan. Sejak pagi keduaya keluar dari perkampungankumuh untuk menjelajah kota. mereka berjalan dengan mata tajam ke kiri-kanan. Beban besar dan berat tersampir di pundak. Karung plastik berisi rongsok dan botol plastik aneka minuman.

"Ayo, Min, jalan yang cepat. Jangan seperti orang melenggang santai di mall begitu. . . !"

"Di mall, Mak? Hahaha. Aku sudah capek. . ."

"Mestinya oto-otot kakimu keras. Tidak mudah capek. Bukankah tiap hari kita selalu berjalan jauh. Berjalan menyusuri trotoar, memutari pasar, juga mengukur jalan kampung demi kampung. Kamu masih belum terbiasa juga rupanya. Ayo cepat. . .!"

Perempuan kecil itu memberengut. "Istirahat dulu, Mak. Kepalaku pusing. Haus, lapar. Boleh aku mengemis, Mak?"

"Malu. Tidak ada keluargaku yang boleh mengemis. Itu pekerjaan paling hina. Jadi pemulung saja sudah banyak dipandang sinis orang, apalagi jadi pengemis. Jangan. . . !"

"Tapi aku haus.. .  .!"

Rusmina terus merengek, dan mogok tidak mau melangkah lagi. Ia berhenti diketeduhan pohon bintaro di pinggiran kota Utara. Umurnya hampir sembilan tahun. Tapi ia ikhlas tidak pernah kenal bangku sekolah. Ia belajar sendiri saja membaca dan menulis dari Emaknya. Ya, Yu Sawiji selalu mengajari apa saja pada anaknya.

Kapan saja sempat, ada pelajaran membaca, menulis, berhitung, menggambar; bahkan juga memasak dan mengaji. Rusmina diakui sebagai anak tunggalnya. Orang-orang mengatakan kekduanya layaknya adik dengan kakak. Rusmina lima belas tahun lebih muda. Tapi Yu Sawiji tidak suka ucapan itu.

"Tunggu sebentar, Rus. Emak mau minta air ke mushola itu. . .  !"

"Air kran?"

"Apalagi? Pengobat haus ya air. Air apa saja yang ada. Jangan minta yang tidak ada. . . !"

"Min 'kan tidak minta air jeruk dingin, atau es cendol, to Mak?"

"Lagakmu. . .!"

"Tapi ya jangan dikasih air kran. Bisa sakit perut Min nanti, Mak. Kalau aku sakit siapa yang repot? Emak juga 'kan?"

"Lagakmu. Kayak orang kaya. Sakit perut gara-gara minum air kran. . . . hahaha!" Yu Sawiji tertawa lepas.

Dua orang perempuan pemulung tergelak spontan. Kompak, kocak. Sejenak rasa haus dan lapar hilang, wajah ciut dan kecut berganti riang. Namun tak lama kemudian rasa haus kembali menggigit tenggorokan. Yu Sawiji mempercepat langkah, meletakkan karung plastik di luar pagar, dan masuk ke halaman sebuah mushola.

Rusmina menunggu dan memperhatikan dari luar pagar. Beberapa orang sedang salat berjamaah di dalam mushola, yang lain ngobrol di teras. Tiga mobil plat luar kota terparkir di halaman yang luas, rindang oleh beberapa pohon mangga, dan asri tertata itu.

Seorang lelaki mengawasi, Yu Sawiji membatin, mungkin ia penjaga mushola. Ia bersarung dan peci rapi. Umurnya sekira lima puluhan. Sikapnya tampak kurang senang, ia waspada seperti hendak mengusir.

"Minta izin, Pak Haji. Mau minta air kran boleh ya? Haus. . .!"

"Boleh saja. Air melimpah, tapi jangan. . . . .  !"

"Tidak, Pak Haji. Saya pemulung, bukan pencuri. Tidak perlu dicurigai begitu. Anak saya mau mengemis saja saya larang. Jangan lagi menjadi pencuri. Maaf, ya Pak Haji, saya izin minta air kran. . . !"

Tidak ada wadah untuk penampung air. Terpaksa perempuan berkerudung itu mengambil gayung di kamar mandi, dan menampung air dari kran sepenuh gayung. Cipratan air terasa sejuk di kulit. tangannya.

"Pinjam sebentar gayungnya ya, Pak Haji. Nanti saya kembalikan. Janji. Jangan khawatir. Saya bukan maling. . . . !"

Yu Sawiji setengah berlari, dan menyerahkan gayung itu. Rusmina sudah tidak sabar menunggu. Ia langsung meminum dengan penuh minat. Panas dan haus seperti membakar dada. Sekujur badan terasa mau meleleh oleh terik matahari dan basah keringat. Maka seketika perempuan cilik itu merasakan kesegaran yang luar biasa. (Bersambung) -- 13 Jan 20

Gambar: Gambar

Simak bacaan sebelumnya:

alhamdulillah-ternyata-mall-masih-tutup

tiga-nama-beken-di-awal-tahun

puisi-kanvas-terakhir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun