"Air kran?"
"Apalagi? Pengobat haus ya air. Air apa saja yang ada. Jangan minta yang tidak ada. . . !"
"Min 'kan tidak minta air jeruk dingin, atau es cendol, to Mak?"
"Lagakmu. . .!"
"Tapi ya jangan dikasih air kran. Bisa sakit perut Min nanti, Mak. Kalau aku sakit siapa yang repot? Emak juga 'kan?"
"Lagakmu. Kayak orang kaya. Sakit perut gara-gara minum air kran. . . . hahaha!" Yu Sawiji tertawa lepas.
Dua orang perempuan pemulung tergelak spontan. Kompak, kocak. Sejenak rasa haus dan lapar hilang, wajah ciut dan kecut berganti riang. Namun tak lama kemudian rasa haus kembali menggigit tenggorokan. Yu Sawiji mempercepat langkah, meletakkan karung plastik di luar pagar, dan masuk ke halaman sebuah mushola.
Rusmina menunggu dan memperhatikan dari luar pagar. Beberapa orang sedang salat berjamaah di dalam mushola, yang lain ngobrol di teras. Tiga mobil plat luar kota terparkir di halaman yang luas, rindang oleh beberapa pohon mangga, dan asri tertata itu.
Seorang lelaki mengawasi, Yu Sawiji membatin, mungkin ia penjaga mushola. Ia bersarung dan peci rapi. Umurnya sekira lima puluhan. Sikapnya tampak kurang senang, ia waspada seperti hendak mengusir.
"Minta izin, Pak Haji. Mau minta air kran boleh ya? Haus. . .!"
"Boleh saja. Air melimpah, tapi jangan. . . . . Â !"