Cat disediakan, juga kuas dan puluhan kanvas 40 x 40 cm: para jurnalis dipersilahkan melukis. Tema apa saja, bebas, tanpa ketentuan. Air teh, kopi, dan camilan disediakan. Sambil bersendau-gurau, saling sindir dan komentar, para jurnalis menikmati fasilitas untuk menjadi seniman lukis dadakan.
Siang hari acara melukis selesai. Hasil lukisan boleh dibawa pulang oleh si pelukis masing-masing. Kegiatan itu dibukukan, dibagikan kepada setiap peserta, dan menjadi kenang-kenangan tak terlupakan.
Pada kesempatan lain, dalam suatu pembuatan materi siaran, penulis dan seorang juru kamera  diberi selembar keras HVS dan sebuah ballpoint. Dan kami saling menggambar. Jeihan menggambar kami, sendiri-sendiri; dan sebaliknya kami menggambar sosoknya.
Mengenai tanah kelahirannya, Jeihan sangat antusias bila menceritakannya. Penulis yang juga kelahiran Ampel Boyolali harus kembali mengingat masa lalu untuk meladeni pembicaraannya. Â Masa lalu dengan segenap kenangan di dalamnya selalu menyenangkan untuk dibicarakan dengan kawan sedaerah.
Nah, itu saja. "Lahir, hidup, dan mati itu siklus, sesuatu yang niscaya. Saya harus persiapkan kapan saya pulang," kata Jeihan terkait dengan makam yang telah dipersiapkannya sendiri.
Jeihan Sukmantoro, selamat jalan. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Aaamiin. Â *** 30 November 2019 M / 3 Rabi'ul Akhir 1441 H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H