Lalu beberapa bagian kanvas dilabur rata, selebihnya dibiarkan kosong untuk kemudian diisi warna lain.
Dengan berkain sarung, kaos oblong putih, berkacamata lebar, dan rambut memanjang hampir menutup telinga, Jeihan berkonsentrasi penuh dengan lukisannya.
Dahi berkerut-kerut, mata menyala, dan nafas tak beraturan memperlihatkan ketergesaan dalam menumpahkan gagasan. Namun, pada saat lain santai saja, sambil ngobrol, atau berkomentar ini-itu mengenai situasi kekinian.
Serasa dalam seketika sebuah gambar utuh tergelar. Coretan rambut, wajah, tangan, badan, dan kaki segera muncul di kanvas. Kuas berganti ke ukuran lebih kecil, lalu untuk detil mata-alis-bibir digunakan kuas paling kecil.
Bidang kanvas yang masih kosong segera dilabur warna yang sama, atau berbeda. Sama cepat, tegas dan rata, dan selesai. Tidak sampai satu jam kanvas ukuran 70 x 90 cm atau bahkan 140 x 140 cm selesai dikerjakan.
Jeihan melihat dari kejauhan, lalu membenahi beberapa detil. Kondisi kesehatan mempengaruhi cara dan gayanya dalam melukis.
Harga sebuah lukisan Jeihan pernah mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kalau tidak melihat sendiri mungkin orang tidak percaya bahwa proses pembuatannya begitu cepat, instan, dan tanpa pikir panjang.
Jeihan melalui cerita panjang dan berliku, sulit dan mempihatinkan, sebelum kemudian menemukan orisinalitasnya itu.
Ambang Waras
Perjalanan panjang dalam kehidupan, dan terlebih aktivias kesenimanannya, membuat seorang budayawan Jakob Sumardjo menggambarkan Jeihan sebagai sosok yang berada pada ambang waras dengan gila.
"Jeihan, Ambang Waras dan Gila" judul buku yang ditulis Jakob Sumardjo mengenai Jeihan. Buku itu serupa sebuah biografi, tetapi dengan cara penulisan yang meluas.Â
Menyangkut sejarah, budaya, filsafat, kejawaan, dan berbagai hal lain yang terangkat dari pembicaraan dan pertemuan panjang mengenai kehidupan masa lalu maupun masa kini maestro lukis itu.