Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Ahad Pagi Akhir September

29 September 2019   06:57 Diperbarui: 29 September 2019   07:20 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
obyek wisata pantai di Jakarta suatu pagi/sumber: twitter.com/jakartatourism

1/

Ahad pagi sesekali beraroma puisi, entah mengapa. Begitu bangun dan terucap Alhamdulillah, hari bangkit perlahan. Rasa dihidupkan dari tidur lelap serupa mati. Jalanan kembali dilangkahkan, hingga kelak putarannya aus dan seketika diam terhenti.   

Adakah memang beda Ahad pagi dari subuh-subuh lain? Mungkin saja, tapi tidak pagi ini. Awal hari tanpa kepak burung dan kicaunya di ranting pohon tinggi, tanpa sejumput pun awan di tiap lapis langit. Birunya menulang pada rukuk dan sujud teramat dalam.

2/

Ahad pagi, hanya segelas air tawar guyur kerongkongan, dan niat kecil untuk mencecap sunah hari ini. Lalu urusan lain merentang-rentang, menjemput segenggam rahmat, jalani wajib selayak mahluk, tak boleh berjarak selain runduk.

Masjid Azam di ujung, ke sana segenap hati berlari. Tertatih kadang, gegas lain waktu. Semua berangkat tak sudi ditunda, semua menyusur terjal jalanan. Bila pula pulang tanpa dibebani banyak bekal.

3/

Ahad pagi, kemarau belum selesai pada banjir pertama, menimpa mereka yang didera kerontang. Siapapun rela bertikai demi setetes maaf, demi seutas harap. Demi sekeping janji untuk coba terus diingat, tapi abai mematut diri.

Kini tiap jeda berganti-ganti aroma. Tiap kata menjanjikan mekar bunga-bunga, tiap titik dan koma, meruapkan keindahan yang tak terkira wujudnya. Siapa yang tiba-tiba melibatkan segenap rasa untuk kisah segila ini?

4/

Ahad pagi seiring kecipak dingin mengalir dari pucuk bukit, genangi kulit menipis oleh gesek angin, untuk ingatkan bila, tak pernah berlama-lama menanti.

Hidup sungguh tak semudah merenda angan dijadikan perca, akhirnya tercabik tak berguna. Ahad pagi di bulan September, cuaca terik teramat khusuk. Menanda sempit sempatan, embun meluruh, angin jatuh. Aroma dzikir bergantian sebentar mawar selebihnya melati. Tak sadar aku terjebak pada jejak usang, tumpukan puisi.  ***

Bandung, 11 Juli -- 29 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun