1/
Ahad pagi sesekali beraroma puisi, entah mengapa. Begitu bangun dan terucap Alhamdulillah, hari bangkit perlahan. Rasa dihidupkan dari tidur lelap serupa mati. Jalanan kembali dilangkahkan, hingga kelak putarannya aus dan seketika diam terhenti. Â Â
Adakah memang beda Ahad pagi dari subuh-subuh lain? Mungkin saja, tapi tidak pagi ini. Awal hari tanpa kepak burung dan kicaunya di ranting pohon tinggi, tanpa sejumput pun awan di tiap lapis langit. Birunya menulang pada rukuk dan sujud teramat dalam.
2/
Ahad pagi, hanya segelas air tawar guyur kerongkongan, dan niat kecil untuk mencecap sunah hari ini. Lalu urusan lain merentang-rentang, menjemput segenggam rahmat, jalani wajib selayak mahluk, tak boleh berjarak selain runduk.
Masjid Azam di ujung, ke sana segenap hati berlari. Tertatih kadang, gegas lain waktu. Semua berangkat tak sudi ditunda, semua menyusur terjal jalanan. Bila pula pulang tanpa dibebani banyak bekal.
3/
Ahad pagi, kemarau belum selesai pada banjir pertama, menimpa mereka yang didera kerontang. Siapapun rela bertikai demi setetes maaf, demi seutas harap. Demi sekeping janji untuk coba terus diingat, tapi abai mematut diri.
Kini tiap jeda berganti-ganti aroma. Tiap kata menjanjikan mekar bunga-bunga, tiap titik dan koma, meruapkan keindahan yang tak terkira wujudnya. Siapa yang tiba-tiba melibatkan segenap rasa untuk kisah segila ini?
4/
Ahad pagi seiring kecipak dingin mengalir dari pucuk bukit, genangi kulit menipis oleh gesek angin, untuk ingatkan bila, tak pernah berlama-lama menanti.