Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jangan Korupsi Ya..

19 September 2019   13:32 Diperbarui: 19 September 2019   22:33 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
transaksi di bawah meja | vantageasia.com

Tiba-tiba saja Pak Bejo Ketua RT, dengan didukung isteri Bu Tini Subejo, menemukan ungkapan manis, padahal sebenarnya pahit luar biasa.  Kalau orang biasa mestinya lidah tak sanggup mencecapnya. Sama sekali tidak ada manis-manisnya, apalagi indah.

Tapi sekadar ungkapan 'kan tidak apa-apa, alias boleh-boleh saja.

Dan itulah yang diperbincangkan oleh suami-isteri pada sebuah kompleks perumahan sederhana, di kawasan Desa Kali Buthek, yang banyak dihuni oleh para perantau dari berbagai daerah dia tanah air.

"Dulu ada cerpen dengan judul menggigit, 'Selingkuh Itu Indah'. Nah, ini yang kurasakan bukan hanya mengigit, tapi menerkam, mengunyah, dan melahab habis..."

"Apa itu, Pak."

"Korupsi Itu Indah. Sangat indah sehingga setiap pejabat, pemegang kekuasaan, bahkan orang-orang swasta yang bersangkut-paut urusan dengan Pemerintahan tak segan untuk ikut mengenyam keindahan itu...!"

"Ribet bener bahasamu. Tapi tampaknya ada sebuah ironi di sana ya, Pak?"

"Persis. Tepat, Bu. Luar biasa sekali negeri ini...!"

Selesai menghabiskan nasi goreng untuk sarapannya, Pak Bejo langsung pamit berangkat kerja. Ia bukan pegawai pemerintah, bukan karyawan, tapi sekadar wiraswasta yang mengais rezeki dari keterampilannya melakukan pekerjaan yang terkait dengan besi dan las.

"Walaupun indah, Pak, jangan pernah bermimpi jadi koruptor. Tetaplah sebagai tukang las. Bagiku itu tetap yang terindah!" ucap Bu Tini ketika ia mencium punggung tangan suami yang segera naik ke atas sepeda motor, dan tancap gas menuju ke tempat tugas.

*

Ketika Bu Tini sampai di warung lotek Mak Purwo perbincangan sedang hangat mengenai Menpora yang dijadikan tersangka oleh KPK. Ia belum pesan apa-apa, mendengarkan pembicaraan beberapa saat sebelum nimbrung memperkeruh pembicaraan.

"Koruptor kok nggak habis-habis ya, Mbak!" ucap Mak Fatmah dengan suara kenceng. Di hadapannya sepiring lotek dan es cendol siap untuk dinikmati. "Sudah jadi mengeri, sudah banyak gaji dan fasilitasnya, masih juga korupsi. Aneh 'kan?"

Mbak Murwo sibuk membuat lotek, untuk meladeni pembeli lain. ada yang mninta pedeas, yang lain minta banyak sayur, ateau minta tanpa lontong. Ia hanya tertawa, lalu menyambut sekenanya. "Ya, itulah. Mereka belum pernah kena timpuk ulekanku ini, jadi ya, hahaha!"

"Direndos sampai lumat ya, Mbak?" sahut Mak Fatmah.

"Jangan lupa banyakin cabenya, biar tersiksa gelagapan kepedasan!" tambah seorang pembeli disertai tawa tak habis-habis.

Bu Tini ikut tertawa. "Tapi jangan-jangan para mereka tidak makan lotek. Mereka makan besar di restoran-restoran mewah dan mahal. Pasti tidak ada menu lotek di sana!"

"Ohh, begitu ya? Jadi makan apa dong, Bu Tini?" tanya Mbak Murwo memancing.

"Entah, mungkin makan orang, hehehe. Coba pikir, mereka sudah biasa makan aspal dan semen, lalu minum bahan bakar minyak dan keringat hasil kerja orang lain; apalagi yang bisa dilahap kecuali orang?" ucap Mak Fatmah.

"Ya, makan orang!" Bu Tini setuju. "Itu sebabnya suamku tadi bilang, bahwa karuptor tak akan habis-habisnya, karena korupsi itu indah! Setiap orang ingin melakukannya. Bukankah kaya, mewah, banyak harta-benda, itu teramat indah. Padahal trernyata semua itu dari hasil korupsi!"

Dua orang pembeli berpakaian seragam Pemda datang, maka seketika mereka saling pandang. Dan tanpa dikomando menghentikan pembicaraan yang sudah mulai menghangat itu.

"Kok berhenti ngobrolnya, Ibu-ibu?" ucap salah satu pegawai itu dengan nada bercanda. "Di ruangan kerja, kami juga sedang sibuk membahas soal Menpora yang dijadikan tersangka oleh KPK kok. Lanjut saja!"

Mbak Murwo, Bu Tini dan Mak Fatmah serta beberepa pembeli lotek saling pandang. Mereka pati segan, canggung. Takut menyinggung perasaan. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pegawai pemerintah mendapat tudingan paling banyak sebagai pelaku korupsi. Dari pegawai rendah hingga pegawai tinggi bila tak kuat-kuat iman pasti terjerumus dalam selingkuh soal uang, alias korupsi.

Akhirnya Bu Tini yang memulai bicara. "Kami sedang membahas topik hangat 'korupsi itu indah'. Betulkah begitu kenyataannya?"

Dua orang berseragam itu hanya tertawa renyah. Tidak menjawab. Hanya saling bisik diantara mereka. Sampai kemudian bungkusan lotek serta es cendol di dalam plastik mereka terima.

Bu Tini penasaran. "Betulkah, Bu? Kami perlu tambahan opini nih!"

"Betul!" spontan dua orang pegawai itu menjawab. Lalu buru-buru beranjak pergi. "Maaf, kami masih ada pekerjaan. Kami bukan pimpinan proyek, tidak pegang anggaran, dan bukan pemegang kekuasaan. Kami bekerja semata demi gaji tiap bulan saja. Tapi memang..."

"Tapi...?" sambut Mbak Murwo dengan penasaran.

Sudah beberapa langkah mereka berjalan baru menjawab. "Kami terbiasa korupsi waktu. Maaf. Sekarang ini misalnya. Belum waktu istirahat, kami tidak sempat sarapan karena takut telambat. Jadi terpaksa beli lotek di sini."

Mak Fatmah dan Bu Tini melongo. Bahkan waktu pun mereka korupsi. Luas biasa memang. Jadi betapa indah sebenarnya memang korupsi itu. Siapa yang tidak ketagihan?

*

Para pembeli sudah berganti, tapi Bu Tini masih setia di depan warung lotek Mbak Murwo. Sudah agak lama ia mengamati gaya dan kegesitan si penjual lotek. Ia punya rencana untuk bejualan pula. Sedang dihitung-hitung modalnya, apakah mau jualan soto, atau bakso, atau nasi kuning saja.

"Sudah, jangan banyak pikir. Mulai saja jualan apa, Bu Tini. Kalau mau jualan rujak, biar aku khusus jualan lotek saja. Rujaknya ke Ibu."

"Tidak, Mbak. Biar aku jualan yang lain saja."

"Jadi apa lagi yang sedang dipikirin?"

Bu Tini ternyum saja. Keningnya berkerut-kerut, lalu menyeruput es cendolnya hingga tetes air yang terakhir.

"Apakah kalau menundang-nunda bayar iuran RT dan arisan itu termasuk korupsi ya, Mbak? Juga kalau nanti aku jualan di samping pos ronda ini, lalu kebutuhan anak-anak dan suami agak terabaikan, apakah itu juga korupsi? Pening aku!" Bu Tini berucap kemudian, seperti kepada dirinya sendiri saja. Tiba-tiba teringat hal lain yang lebih gawat. "Apakah mengakhirkan waktu shalat itu juga termasuk dalam urusan korupsi?"

Mbak Murwo rupanya tidak terlalu perhatian pada apa yang diucapkan Bu Tini. Ia sedang menghitung-hitung uang, dan kemudian beranjak meninggalkan dagangannya. "Sebenar, Bu Tini. Aku lupa, hari ini janji mau melunasi utang ke warung kelontong Bang Tarmun di ujung jalan sana. Titip warung sebentar ya, Bu?"

Bu Tini tercengang. Berharap Mbak Murwo agak lama menyeleaikan uruannya, jadi ia bisa latihan jadi penjual makanan. Ia sudah hafal cara dan takaran yang biasa dilakukan Mbak Murwo.

"Aku boleh meladeni kalau ada pembeli, Mbak?"

"Boleh saja. Tapi jangan korupsi ya.. Hahahaha..."

Mbak Murwo setengah berlari menjuk ke toko kelontong. Bu Tini menempati kursi plastik yang biasa diduduki Mbak Murwo. Beberapa orang pembeli tiba-tiba datang. Bingung juga Bu Tini meladeni mereka. Tapi meski lambat-lambat ia memenuhi beberapa pesanan mereka. (Serial ke 20) 

*** 

19 September 2019

Gambar: Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun