Mbak Murwo, Bu Tini dan Mak Fatmah serta beberepa pembeli lotek saling pandang. Mereka pati segan, canggung. Takut menyinggung perasaan.Â
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pegawai pemerintah mendapat tudingan paling banyak sebagai pelaku korupsi. Dari pegawai rendah hingga pegawai tinggi bila tak kuat-kuat iman pasti terjerumus dalam selingkuh soal uang, alias korupsi.
Akhirnya Bu Tini yang memulai bicara. "Kami sedang membahas topik hangat 'korupsi itu indah'. Betulkah begitu kenyataannya?"
Dua orang berseragam itu hanya tertawa renyah. Tidak menjawab. Hanya saling bisik diantara mereka. Sampai kemudian bungkusan lotek serta es cendol di dalam plastik mereka terima.
Bu Tini penasaran. "Betulkah, Bu? Kami perlu tambahan opini nih!"
"Betul!" spontan dua orang pegawai itu menjawab. Lalu buru-buru beranjak pergi. "Maaf, kami masih ada pekerjaan. Kami bukan pimpinan proyek, tidak pegang anggaran, dan bukan pemegang kekuasaan. Kami bekerja semata demi gaji tiap bulan saja. Tapi memang..."
"Tapi...?" sambut Mbak Murwo dengan penasaran.
Sudah beberapa langkah mereka berjalan baru menjawab. "Kami terbiasa korupsi waktu. Maaf. Sekarang ini misalnya. Belum waktu istirahat, kami tidak sempat sarapan karena takut telambat. Jadi terpaksa beli lotek di sini."
Mak Fatmah dan Bu Tini melongo. Bahkan waktu pun mereka korupsi. Luas biasa memang. Jadi betapa indah sebenarnya memang korupsi itu. Siapa yang tidak ketagihan?
*
Para pembeli sudah berganti, tapi Bu Tini masih setia di depan warung lotek Mbak Murwo. Sudah agak lama ia mengamati gaya dan kegesitan si penjual lotek. Ia punya rencana untuk bejualan pula. Sedang dihitung-hitung modalnya, apakah mau jualan soto, atau bakso, atau nasi kuning saja.