"Sudah, jangan banyak pikir. Mulai saja jualan apa, Bu Tini. Kalau mau jualan rujak, biar aku khusus jualan lotek saja. Rujaknya ke Ibu."
"Tidak, Mbak. Biar aku jualan yang lain saja."
"Jadi apa lagi yang sedang dipikirin?"
Bu Tini ternyum saja. Keningnya berkerut-kerut, lalu menyeruput es cendolnya hingga tetes air yang terakhir.
"Apakah kalau menundang-nunda bayar iuran RT dan arisan itu termasuk korupsi ya, Mbak? Juga kalau nanti aku jualan di samping pos ronda ini, lalu kebutuhan anak-anak dan suami agak terabaikan, apakah itu juga korupsi? Pening aku!" Bu Tini berucap kemudian, seperti kepada dirinya sendiri saja. Tiba-tiba teringat hal lain yang lebih gawat. "Apakah mengakhirkan waktu shalat itu juga termasuk dalam urusan korupsi?"
Mbak Murwo rupanya tidak terlalu perhatian pada apa yang diucapkan Bu Tini. Ia sedang menghitung-hitung uang, dan kemudian beranjak meninggalkan dagangannya. "Sebenar, Bu Tini. Aku lupa, hari ini janji mau melunasi utang ke warung kelontong Bang Tarmun di ujung jalan sana. Titip warung sebentar ya, Bu?"
Bu Tini tercengang. Berharap Mbak Murwo agak lama menyeleaikan uruannya, jadi ia bisa latihan jadi penjual makanan. Ia sudah hafal cara dan takaran yang biasa dilakukan Mbak Murwo.
"Aku boleh meladeni kalau ada pembeli, Mbak?"
"Boleh saja. Tapi jangan korupsi ya.. Hahahaha..."
Mbak Murwo setengah berlari menjuk ke toko kelontong. Bu Tini menempati kursi plastik yang biasa diduduki Mbak Murwo. Beberapa orang pembeli tiba-tiba datang. Bingung juga Bu Tini meladeni mereka. Tapi meski lambat-lambat ia memenuhi beberapa pesanan mereka. (Serial ke 20)Â
***Â