Ketika Bu Tini sampai di warung lotek Mak Purwo perbincangan sedang hangat mengenai Menpora yang dijadikan tersangka oleh KPK. Ia belum pesan apa-apa, mendengarkan pembicaraan beberapa saat sebelum nimbrung memperkeruh pembicaraan.
"Koruptor kok nggak habis-habis ya, Mbak!" ucap Mak Fatmah dengan suara kenceng. Di hadapannya sepiring lotek dan es cendol siap untuk dinikmati. "Sudah jadi mengeri, sudah banyak gaji dan fasilitasnya, masih juga korupsi. Aneh 'kan?"
Mbak Murwo sibuk membuat lotek, untuk meladeni pembeli lain. ada yang mninta pedeas, yang lain minta banyak sayur, ateau minta tanpa lontong. Ia hanya tertawa, lalu menyambut sekenanya. "Ya, itulah. Mereka belum pernah kena timpuk ulekanku ini, jadi ya, hahaha!"
"Direndos sampai lumat ya, Mbak?" sahut Mak Fatmah.
"Jangan lupa banyakin cabenya, biar tersiksa gelagapan kepedasan!" tambah seorang pembeli disertai tawa tak habis-habis.
Bu Tini ikut tertawa. "Tapi jangan-jangan para mereka tidak makan lotek. Mereka makan besar di restoran-restoran mewah dan mahal. Pasti tidak ada menu lotek di sana!"
"Ohh, begitu ya? Jadi makan apa dong, Bu Tini?" tanya Mbak Murwo memancing.
"Entah, mungkin makan orang, hehehe. Coba pikir, mereka sudah biasa makan aspal dan semen, lalu minum bahan bakar minyak dan keringat hasil kerja orang lain; apalagi yang bisa dilahap kecuali orang?" ucap Mak Fatmah.
"Ya, makan orang!" Bu Tini setuju. "Itu sebabnya suamku tadi bilang, bahwa karuptor tak akan habis-habisnya, karena korupsi itu indah! Setiap orang ingin melakukannya. Bukankah kaya, mewah, banyak harta-benda, itu teramat indah. Padahal trernyata semua itu dari hasil korupsi!"
Dua orang pembeli berpakaian seragam Pemda datang, maka seketika mereka saling pandang. Dan tanpa dikomando menghentikan pembicaraan yang sudah mulai menghangat itu.
"Kok berhenti ngobrolnya, Ibu-ibu?" ucap salah satu pegawai itu dengan nada bercanda. "Di ruangan kerja, kami juga sedang sibuk membahas soal Menpora yang dijadikan tersangka oleh KPK kok. Lanjut saja!"