Penyakit orang tua itu ya ngantuk setelah kenyang, ngantuk setelah kecapekan, ngantuk setelah dua -- tiga lembar Al Qur'anm dibaca, dan bahkan juga ngantuk di tengah ceramah salat tarawih yang tak lebih 10 menit itu. Ngantuk menjadi penyakit utama, tentu selain yang lain-lain berupa penyakit degeneratif.
Begitulah Bang Brengos berpikir dan heran sendiri atas kondisi tubuhnya. Kalau sekadar menahan lapar dan haus saja sejauh ini tak bermasalah. Tapi kalau harus menahan ngantuk terasa muskil untuk berhasil.
"Diajak ngobrol kok malah ngantuk terus. Jadi bagiamana ini soal mudik, pulang kampung, Bang?" tanya Mak Jumilah.
Itulah obrolan Mak Jumilah dengan Bang Brengos sepulah dari tarawih semalam. Mak Jumilah masih tahan duduk sambil menderas Al Qur'an, sedangkan Bang Brengos sudah terbujur di sofa dengan mata antara setengah tertutup.
"Abang biasa tidur terlalu malam. Itu soalnya. Maka tidurlah lebih cepat. Jadi bangun pun lebih cepat, sudah segar kembali, bukan malah tambah ngantuk. Di mana-mana orang bangun sahur memang ngantuk, tetapi begitu makan-minum ya langsung untuk siap salat Subuh berjamaah di masjid. . . . !" ucap Mak Jumilah setelap kali dilihatnya sang suami tampak repot mengatur kelopak mata supaya terbuka.
"Begitu teorinya. Abang juga tahu. Tapi kelopak mata ini sudah tidak seperti dulu lagi, tidak mudah diajak berkompromi. . . . !"
"Dulu yang mana? Dulu yang tiap ada cewek cakep lewat langsung melirik?"
"Ohh, itu dulu sekali sebelum ketemu Mak. Belakangan kelopak mata tak terpejam sebelum pekerjaan selesai. Bisa sampai pagi kerja lembur di kantor. Walaupun esok paginya harus kembali masuk kerja dan berpuasa Ramadan. Tidak ada lagi urusan melirik, apalagi melotot. . .!" jawab Bang Brengos dengan kelopak mata masih tertutup dengan posisi terduduk, namun tersandar, di sofa panjang ruang tengah. "Mak ingat 'kan?
"Ingat. Abang selalu menunduk bila berjalan. Lantaran tidak melihat ke depan sampai beberapa kali bertabrakan dengan pejalan lain. Lucu sekali. . . . . !"
"Apa yang lucu? Tabrakan dengan lelaki gendut. Perut buncit pula. sampai terpental Abang!"
"Beruntung belum pernah tabrakan dengan gadis cantik, ya? Giliran si gadis cantik yang terpental. . . . hehehe."
Bang Brengos tertawa saja. Karena bercanda dengan isteri yang membuatnya tidak ngantuk. Padahal dari tadi ia sudan ancang-ancang hendak tidur. Tadi malam kuan gtidur karena menulis, lalu ke masjid untuk ber-i'tikaf, tadarusan, dan berdzikir.
"Supaya tidak ngobol ke mana-mana, bacalah tulisan Abang di laptop. . . !" ucap Bang Brengos seraya beranjak ke sofa, untuk meneruskan tidur. "Biar Abang meneruskan tidur barang satu jam. . . . !"
Mak Jumilah mengangguk, dan menuju ruang kerja.
* Â Â
Rangkuman dari beberapa kultum (kuliah tujuh menit). Menuliskannya merupakan cara mudah menasihati diri sendiri:
Penyakit fisik tampak lebih nyata daripada penyakit hati. Orang cepat berobat bila tahu ada penyakit fisik/jasmani. Tapi tidak bila terkena penyakit hati. Banyak orang yang tidak menydari penyakit hati itu mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa iri, dengki, benci dan dendam itu penyakit hati yang jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik.
Penyakit fisik dapat disembunyikan, dan diri sendiri yang tahu. Tetapi penyakit hati tidak. Penyakit hati itu menandai yang bersangkutan dekat dengan setan. Penyakit hati keberadaannya karena dosa dan perilaku lain yang tidak didasari oleh iman. Tanda-tanda orang yang berpenyakit hati yaitu selalu gelisah, banyak pikiran, dan mengeluh.
Untuk mengobati penyakit hati maka perlu mepertebal iman,Ada tiga cara konkrit yang dpaat dilakukan sebagai obat, yaitu banyak membaca kita suci Al Qur'an, perbaiki dan perbanyak salat (salat wajib tepat waktu, berjamaah di masjid, dan perbanyak salat sunah), serta perbanyak sedekah (sodaqoh).
Bersamaan dengan sembuhnya penyakit hati maka penyakit fisik pun terobati. Itu yang sering tidak kita sadari. Keadaan ini seperti dengan kesukaan orang mengejar harta-tahta-wanita. Sampai-sampai melupakan, dan bahkan mengabaikan akhirat. Padahal bila cara berpikirnya diubah, yaitu dengan mengutamakan mengejar akhirat maka dunia pun akan terkejar pula.
Dunia ini hitungannya sangat kecil dan tak seberapa. Sebagai pembanding, sebanyak apapun yang kita dapat -bahkan dunia dengan semua isinya- tidak cukup nilainya untuk menebus akhirat. Karena itu jangan salah memilih, jangan salah mengejar, jangan mencari nilai-nilai semu yang tak berharga. Kejarlah akhirat, karrna itu jelas lebih berharga.
Sebaliknya, bila kita merasa cukup -seberapapun kita punya- akan cukup. Itu tidak berarti hanya sedikit, tapi bahkan bisa sangat melimpah. Namun, kita mampu bertanggungjawab atas cara mendapatkan maupun cara membelanjakannya.
Nah itu, obati penyakit fisik. Sakit kulit, mata, telinga, atau penyakit dalam. Tetapi dahulukan menyembuhkan penyakit hati. Stress, banyak mengeluh, dan tidak mau bersyukur seringkali menjadi awal penyakit fisik. Maka lenyapkan dulu penyebabnya. Kejar saja akhir dengan sungguh-sungguh, maka dunia akan mengiringi. Â
Akhirnya, selamat menjalankan puasa. Ramadan sebentar lagi berakhir. Manfaatkan tiap menitnya untuk menambah pahala dari Ibadah dan muamalah dalam semua bentuknya. Semoga di akhir nanti, kita kembali kepada fitri -- fitrah, kembali suci seperti bayi. Dan semua amal-biadah Ramadan dapat istiqomah dilakukan pada 11 bulan berikutnya. Aamiin. ** 27 Ramadan 1414 H.
*
Mak Jumilah selesai membaca tulisan suaminya dengan air mata menetes. Menulis betapapun merupakan obat sangat bagus untuk diri sendiri. Obat penyakit hati, juga penyakit fisik sekaligus.
Ia ingat dulu ketika didorong-dorong Bang Brengos untuk menulis, rasanya berat. Malas mikir, terlebih juga malas berkutat dengan laptop. Pertama-tana yang membuatnya sulit ya soal gaptek, alias gagap teknologi. Dulu ketika bekerja dan masih menggunakan mesin tik, ia merasa nyaman. Tapi ketika ganti pakai komputer, kemudian laptop, rasanya jadi ribet dan sulit. Padahal ternyata tak sesulit yang ditakutkannya.
"Sulit ah, Bang. Biar Abang saja yang jadi penulis. Mak jadi pembacanya. . . . !" bantah Mak Jumilah setiap kali didorong suaminya untuk menuliskan apa saja yang dipikirkan tentang suatu tema tertentu.
"Coba dulu. Coba terus. Lama-lama jadi mudah kok.. . .!
"Mudah? Itu bagi Abang. Kalau Mak tetap sulit.. . . Â !"
"Ya, memang jauh lebih sulit dari ngerumpi. Daripada selalu melihat acara televisi yang berisi rumpi. Padahal ngerumpi sering berarti ghibah. Kenapa tidak ngerumpi untuk diri sendiri, misalnya dengan menasihati diri sendiri. Kalaupun kelak ada yang ikut membaca pasti banyak berpahala. Namun kalaupun tidak, wawasan diri makin luas, makin arif, dan itu pasti sedikit banyak mengobati penyakit hati. . . . . !" ucap Bang Brengos dengan nada menyejukkan.
Dan saat itulah Mak Jumilah bersungguh-sungguh ikut menulis.
Kalau soal ngobrol dan ngomong dengan bahan apa saja, ya mudah. Dan itulah yang menjadikannya lancar menulis. Meski tentu dengan tata bahasa, pilihan kata, maupun alur cerita yang masih harus terus diperbaiki. Dan itulah yang dialami oleh Mak Jumilah.
"
Terbangun dari tidurnya, Bang Brengos mengejap-ngejapkan matanya, lalu berdiri dan merentangkan kedua tangan. Lalu tiba-tiba ia bertanya:
"Kita jadi mudik, Mak?"
"Mimpi, Bang? Hahha. . . . Â ! " jawab Mak Jumilah sambil tertawa. "Beruntung ada THR. Terima kasih kepada Pemerintah, tahun ini kita bisa pulang, Bang. Mudik, ah. Alangkah senangnya. . . . . !" ucap Mak Jumilah dengan mata menerawang jauh.
"Tapi masih ada keperluan lain. Jadi tahan dulu. Mudik bisa tahun depan, atau depannya lagi. Mudah-mudahan kita masih diberi umur dan kesehatan. . . . . !"
Mak Jumilah mendekat, dan memeluk pinggang suaminya dengan penuh perasaan. Kelopak matanya sampai basah. Bukan oleh sedih, tapi trenyuh, terharu. Beberapa tahun pada awal perkawinan mereka tak pulang mudik karena tidak diterima oleh keluarga. Bang Brengos menjadi pilihan yang paling sulit dalam hidup Mak Jumilah. Tetapi setelah berkeluarga semuanya jadi mudah, apalagi setelah punya tiga anak. Keluarga besar menerima kembali. Namun setelah itu justru tidak bisa pulang lantaran masalah pekerjaan. Dan belakangan masalah ongkos. Â
"Sahur dengan apa kita, Mak?" ucap Bang Brengos sambil mengajak isterinya ke ruang makan.
Mak Jumilah menurut, sambil masih meneteskan air mata. Ia tidak menjawab. Begitu sampai di depan meja makan, dibuka tudung saji. Dan didapati makan sederhana seperti biasanya. Semua itu demi dana mudik entah kapan nanti.
Mudik itu perlu dan menyenangkan. Pulang kampung itu asyik sekali. Berlebaran di desa masa lalu itu sesuatu sekali untuk mengenang masa lalu, untuk bersilaturahim dengan sanak-saudara, dan para tetangga di kampung halaman. Tetapi bila biaya tidak mencukupi, ada yang masih perlu diprioritaskan. Begitu pemikiran pasangan tua itu, kompak sekali mereka. *** 01 Juni 2019
Baca juga tulisan sebelumnya:
keberagaman-ramadan-kecerdasan-dan-semarak
tarik-tunai-tanpa-kartu-mudik-lebaran-dan-mesin-atm
aman-nyaman-dan-dibikinsimpel-mudik-pada-lebaran-ketupat
tiga-tokoh-agama-pengobatan-humor-hadits
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H