Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marah Itu Perlu Tapi Tunggu Dulu, Cermati Kategorinya

26 Mei 2019   23:58 Diperbarui: 27 Mei 2019   00:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah itu musuh yang urung dipenggal kepalanya bersahadat dengan Ali, dan masuk Islam. http://jateng.tribunnews.com/2016/06/12/kisah-ali-bin-abi-thalib-batal-memenggal-kepala-musuh-karena-diludahi.

Perbedaan marah yang bersifat wajid dan marahyang justru haram sangat mudah dibedakan. Namun karena berbagai anggapan yang tidak tepat seringkai orang justru mengabaikannya. Orang tidak marah padahal mestinya wajib, sebaliknya marah pada sesuatu yang dianggap salah tetapi dengan sikap dan kata-kata yang kotor, melampaui batas, keji, dan menghina. Apapun alasan sehingga menimbulkan marah maka sikap berlebihan itu justru menjadi harap. Contoh dalam kisah Ali Bin Abi Talib mempertegas pendapat tersebut.

*

Selain marah dalam kategori wajib dan haram, ada kategori lain yang perlu diketahui. Marah bersifat sunnah bila menyangkut perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya mengenai bacaan yang dilafalkan imam salat (panjang-pendeknya), pilihan suratnya, dsb. Beda lagi jika pelantunan ayat suci Al Qur'an tersebut tidak memperhatikan tajwid, kita berhak marah untuk mengingatkan.

Marah bersifat mubah (boleh dilakukan). Dalam riwayat disebutkan Abu Bakar RA marah kepada anaknya karena tidak menjamu tamu (padahal kehendak si tamu sendiri yang rela menunggu Abu bakar pulang).

Marah bersifat makruh (boleh dilakukan sengaja maupun tidak sengaja, tetapi bila tidak dilakukan akan berpahala). Contohnya, pngajuan pertanaan oleh As'ad kepada Rasulullah Saw. Pertanyaannya perihal seumpama ada seorang lelaki yang sedang melakukan zina dengan istri As'ad. Kemudian As'ad hendak membunuh si pelaku anpa mendaang empat orang saksi erelbih dahulu. Tindakan marah inimasuk dalamkategori makruh (karena hanya pengandaian). https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-marah-dalam-islam

*

Ramadan merupakan bulan suci, sehingga tidak selayaknya marah, dan apalagi kemudian berseteru dengan oang yang kita marahi. Demikianpun ada marahyang bersifat wajib, dank arena itu pula wajib berseteru, diantaranya kepada orang yang  melecehkan agama, kepada pebuatan maksiat yang dilakukan terang-terang.

Dengan demikian sikap bertenggangrasa/bertoleransi, sikap yang tidak peduli, dan sikap yang mencari aman tekait dengan meredam marah, atau bahkan mematikan rasa marah, bukanlah sikap yang benar dalm Islam

Bahkan Allah Swt juga murka, marah, mengutuk dan menyediakan neraka jahanam sebagai bentuk kemrahan. Seperti firman pada surat Al Fath ayat 6 dengan penjelasan sebagai berikut :

"Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Al-Fath/48 : 6)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun