Sulit untuk menahan marah, sebab marah seringkali reflek, spontan, dan tanpa perencanaan. Orang yang tiba-tiba mengetahui sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauannya, tidak sesuai dengan harapannya, tidak cocok perintahnya, dan seterusnya dapat saja meledak kemarahannya.
Siapapun pernah mengalami hal itu. Tidak peduli siapa yang dihadapi, tidak ambil pusing dalam suasana apa, tidak peduli terhadap dampak kesehatan yang bakal dianggung, tidak menimbang-nimang kerugian apa yang bakal diterima, dan seterusnya. Marah tetap saja marah. Tak terbendung.
Sepintas kenyataan itu tidak baik, salah, dan sebaiknya tidak dilakukan. Namun, dalam Islam marah pun di atur. Artinya tidak dilarang, melainkan di arahkan pada sasaran yang tepat.
*
Hukum marah dalam islam terbagi dalam beberapa kategori, tentunya sesuai dengan situasi dan juga kondisi:
Marah wajib dilakukan apabila agama kita dilecehkan bahkan dihina. Wajib mawah juga ketika dihadapkan pada perbuatan maksiat yang dilakukan terang -- terangan. Bila pelakunya sesama muslim, maka marah dilakukan sebagai sarana untuk saling mengingatkan.
"Apabila kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan/kekuasaanya, apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan ucapan/lisan (nasihat), apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan hati. Dan yang terakhir, inilah wujud serendah-rendahnya iman. (H. R. Muslim).
Sebaliknya marah menjadi haram dilakukan apabila tindakan itu  untuk meluapkan emosi, dana bahkan diikuti dengan perkataan kotor, caci maki yang melampaui batas, hinaan yang menyakiti hati seseorang, dan lontaran kata-kata keji yang tidak pantas. https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-marah-dalam-islamÂ
Dalam sebuah peperangan  diriwayatkan, Ali Bin Abi Thalib hendak memenggal kepala musuh. Tiba-tiba musuh tersebut meludahi Ali Bin Abi Thalib sehingga mengenai pipi.
Seketika Ali Bin Abi Thalib urung memenggal kepala musuh tersebut. Lalu si musuh bertanya kepada Ali, "Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi memenggal kepalaku?".
Setelah itu, Ali pun menjawab, "Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu," kata Ali.
Setelah itu musuh yang urung dipenggal kepalanya bersahadat dengan Ali, dan masuk Islam. http://jateng.tribunnews.com/2016/06/12/kisah-ali-bin-abi-thalib-batal-memenggal-kepala-musuh-karena-diludahi.
Perbedaan marah yang bersifat wajid dan marahyang justru haram sangat mudah dibedakan. Namun karena berbagai anggapan yang tidak tepat seringkai orang justru mengabaikannya. Orang tidak marah padahal mestinya wajib, sebaliknya marah pada sesuatu yang dianggap salah tetapi dengan sikap dan kata-kata yang kotor, melampaui batas, keji, dan menghina. Apapun alasan sehingga menimbulkan marah maka sikap berlebihan itu justru menjadi harap. Contoh dalam kisah Ali Bin Abi Talib mempertegas pendapat tersebut.
*
Selain marah dalam kategori wajib dan haram, ada kategori lain yang perlu diketahui. Marah bersifat sunnah bila menyangkut perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya mengenai bacaan yang dilafalkan imam salat (panjang-pendeknya), pilihan suratnya, dsb. Beda lagi jika pelantunan ayat suci Al Qur'an tersebut tidak memperhatikan tajwid, kita berhak marah untuk mengingatkan.
Marah bersifat mubah (boleh dilakukan). Dalam riwayat disebutkan Abu Bakar RA marah kepada anaknya karena tidak menjamu tamu (padahal kehendak si tamu sendiri yang rela menunggu Abu bakar pulang).
Marah bersifat makruh (boleh dilakukan sengaja maupun tidak sengaja, tetapi bila tidak dilakukan akan berpahala). Contohnya, pngajuan pertanaan oleh As'ad kepada Rasulullah Saw. Pertanyaannya perihal seumpama ada seorang lelaki yang sedang melakukan zina dengan istri As'ad. Kemudian As'ad hendak membunuh si pelaku anpa mendaang empat orang saksi erelbih dahulu. Tindakan marah inimasuk dalamkategori makruh (karena hanya pengandaian). https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-marah-dalam-islam
*
Ramadan merupakan bulan suci, sehingga tidak selayaknya marah, dan apalagi kemudian berseteru dengan oang yang kita marahi. Demikianpun ada marahyang bersifat wajib, dank arena itu pula wajib berseteru, diantaranya kepada orang yang  melecehkan agama, kepada pebuatan maksiat yang dilakukan terang-terang.
Dengan demikian sikap bertenggangrasa/bertoleransi, sikap yang tidak peduli, dan sikap yang mencari aman tekait dengan meredam marah, atau bahkan mematikan rasa marah, bukanlah sikap yang benar dalm Islam
Bahkan Allah Swt juga murka, marah, mengutuk dan menyediakan neraka jahanam sebagai bentuk kemrahan. Seperti firman pada surat Al Fath ayat 6 dengan penjelasan sebagai berikut :
"Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Al-Fath/48 : 6)
*
Demikianlah. Marah itu ada tempatnya  Marah perlu dikelola dengan baik, disesuaikan dengan kategorinya. Kalau memang wajib ya lakukan, sebab bila tidak melakukan diragukan keimanan kita. Demikian pun cermati, teliti dan kritis, bahkan lakukan tabayyun. Pada musim Pilpres dan Pileg yan elum selesai kali ini (masih ada gugatan di MK)  banyak oang yang sengaja memproduksi hoaks, fitnah, dan adu-domba dengan mengatasnamakan agama.
Kasus demo damai yang berujung rusuh dan anarkis beberapa hari lalu pada beberapa lokasi di Jakarta menjadi salah satu indikasi bahwa rasa marah atas informasi yng salah, dilampiaskan dengan cara yang salah, dan diduga juga karena kepentingan/latar belakang yang salah.
Marah itu perlu, tapi cermati kategorinya. *** 26 Mei 2019
Baca juga tulisan sebelumnya:
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H