Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Secangkir Kopi dan Perempuan Stres

23 September 2018   12:41 Diperbarui: 23 September 2018   13:02 1254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
semangkok es cendol (www.kuali.com)

Beberapa kali gerimis, lalu hujan agak besar, dan kembali panas terik matahari. Hari-hari seperti ada kebakaran hutan. Udara gerah, angin seperti  malas bertiup, sehingga September belum sepenuhnya menandai hari-hari bermandi hujan sebagaimana biasanya nama-nam bulan bersukukata akhir 'ber'. Orang dulu memaknai bulan September hingga Desember sebagai bulan besarnya sumber, alias musim penghujan.

Mbak Murwo senang-senang saja ketika hari panas terik. Sebab itu berarti dagangannya laris manis. Pembeli banyak, tak henti, membeli: makanan atau minuman. Terutama lotek, rujak, dan es cendol. Pos roda 'klub banting kartu' pun ramai oleh warga yang hendak santai, mencari teman cgobrol, atau sengaja mau memenuhi urusan perut lapar. Bermodal gerobak dorong, ditambah meja dan dua bangku panjang, Mbak Murwo berjualan di sebelah pos ronda.

"Es cendolnya tambah, Mbak. Haus sekali nih. Seperti penjualnya, cendolmu seger dan manis sekali. . . .!" puji Bu Tini sambil menyodorkan mangkoknya yang sudah kosong.

"Seger dan manis ya? Hahaha. Coba para jomblo punya pendapat begitu, sudah lama aku menemukan satu yang terbaik diantara mereka." Jawa Mbak Murwo seraya dengan cekatan meladeni pembelinya.

"Mungkin masih di ujung dunia yang lain.. . . .!" sambung seorang pembeli.

"Orang India, Korea, atau orang Amerika. Siapa tahu?" sahut yang lain.

"Anakku kelak pasti cantik, tinggi besar, dan mancung-mancung ya? Bisa jadi bintang sinetron dong. Meski ibunya hanya penjual lotek dan cendol, si anak jadi silebritis kondang. . . . ah, bukan main. Mimpi kok siang hari bolong begini. Jadi kurang waras ya!" komentar Mbak Murwo seraya menyerahkan mangkok cendol Bu Tini.

Bu Tini menerima mangkoknya, dan dengan cepat minuman dingin itu disruputnya dengan penuh semangat. Pembeli yang lain tertawa saja. Mbak Murwo membuatkan pesanan pembeli yang lain dengan cepat. Lotek, rujak, dan gorengan segera terhidang di depan para pembeli dan segera habis mereka lahap.

Pembeli silih berganti, begitu juga yang lewat di depan pos ronda. Sedangkan Mbak Murwo tetap setia menunggu di tempat itu.

*

Siang itu yang duduk di pos ronda hanya Kang Murbani dengan lawan abadinya dalam petak-petak papan catur, tak lain Wak Jafar. Dua mangkok es cendol lama tak terjamah, es batunya lumer dan mencair. Keduanya terlalu asyik menikmati rokok dan memantengi buah-buah catur dengan aneka pikiran ribet di dalam kepala.

Tak lama Mas Bejo muncul, dan nimbrung duduk di pos ronda. Meski tidak punya hobi main catur, ia senang saja mengamati gaya dan perilaku para pemain catur.

"Harga telur boleh terus membubung, kurs rupiah melemah, dan para koruptor terkena operasi tangkap tangan; tapi para pecatur bergeming. Mereka tak peduli pada apapun, dan tetap fokus pada bidak-bidak catur untuk mematikan raja musuh dan  menyelamatkan raja sendiri. . .  !" ucap Mas Bejo membuka pecakapan.

Kang Murbani dan Wak Jafar hanya melirik, tidak menjawab dan bahkan seperti tidak mendengar suara apa-apa. Dalam konsentrasi tinggi mungkin telinga mereka tidak berfungsi dengan baik. Mas Bejo Maklum, dan tak ingin berkomentar lagi.

"Kopi hitam, Mbak!" ucap Mas Bejo memesan minuman kesukaannya.

"Panas terik begini lebih seger minum es cendol, Mas!" usul Mbak Murwo dengan senyum tersungging. Senyum komersial seorang pedagang.

"Kopi hitam itu minuman wajib bagi para pecinta kehidupan. Bukan hanya rasa dan aromanya, tetapi juga sensasi magis setelah meminumnya, untuk membuat pikiran tetap waras. . . . hehehe!" ujar Mas Bejo berdalih. "Lha ini, dua kampiun catur pun sudah minum es cendol. Pasti terkena bujukanmu, Mbak!"

"Minum kopi terus tidak bagus. Kafeinnya menimbulkan jantung berdebar, dan ketagihan. Lebih sehat minum es cendol. . . . . !" bantah Mbak Murwo.

Dua orang pecatur kembali melirik. Dan dalam hitungan yang sangatr cepat, Kang Murbani tersenyum kegirangan: "Skak mat. . . . !" pekiknya mengagetkan semua orang yang ada di pos ronda dan di bangku panjang Mbak Murwo.

Wak Jafar melihat dengan pandangan tak percaya. Di matanya tampak Kang Murbani memindahkan Menteri dengan begitu pelan, anggun namun ternyata sangat mematikan. Seperti gerakan 'slow motion' pukulan tangan kosong pada film action produksi Hong Kong. Hampir-hampir ia tak percaya bahwa strateginya untuk menjebak benteng, ternyata justru berbalas dengan kematian rajanya.  

"Nah, sudah. Lupakan dulu caturnya. Minumlah cendol kalian.. . . .!" ucap Mas Bejo sambil tertawa-tawa. "Sekarang waktunya ngobrol. Apa tidak jenuh terus-terusan berdiam diri seperti orang sakit gigi?"

"Pernah lihat orang mancing yang berdiam diri saja memandingi permukaan kolam ikan?  Tukang bikin sepatu? Atau tukang tembok? Bisa seharian begitu. Mereka lebih parah. . . . !" ujar Wak Ja'far mencari pembenaran.

Mas Bejo mengangguk-angguk setuju. Namun dua orang pecatur itu masih geleng-geleng kepala. Mereka meminum es cendol dengan sekali teguk. Semangkok penuh, ludes dalam waktu singkat. Itu perayaan bagi yang menang, tapi rasa sesal bagi yang kalah.

Mbak Murwo mendengarkan pembicaran itu, tak tak berkomentar. Ia membawa cangkir kopi panas, lalu disorongkan ke pos ronda. Mas Bejo menerima cangkir kopinya, mengendus aroma kopi yang seperti menggelitik-gelitik lubang hidung, dan tersenyum.  Lalu berucap spontan: "Tapi ngomong-ngomong, kalian memperebutkan apa sebenarnya hingga begitu serius berharap kemenanganan? Aku curiga kalian diam-diam memperebutkan cinta Mbak Murwo. . . .!"

"Benarkah?" seru Mbak Murwo dengan wajah sumringah, lalu cepat-cepat mendekati Kang Murbani dan Wak Ja'far. "Benarkah kalian mati-matian bertarung di papan catur setiap hari demi aku?"

Dua lelaki itu saling berpandangan sambil menahan senyum. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan, tapi apa. Mbak Murwo mendekat. Lalu Kang Murbani berbisik. "Kalau saja kamu dua puluh tahun lebih muda, dan kami sudah pekerjaan mapan, pasti jawabannya 'iya' . . . . !"

"Jadi Mas Bejo bohong soal kalian?" ucap Mbak Murwo.

"Tidak juga. Siapa sih jomblo yang tak ingin beristeri? Tapi apa ada perempuan yang  mau? Aku dan Kang Murbani ini sudah tua dan miskin. Bahkan tukang lotek pun mungkin tak sudi bersuamikan pemain catur yang tua dan miskin. . . . !" tambah Wak Ja'far dengan suara lirih.

Mbak Murwo mengacungkan jempol. Ia sudah kebal dengan godaan apapun yang dilontarkan para lelaki. Sebagai pedagang ia tidak boleh mudah tersinggung. Godaan apapun harus dijadikannya sebagai lelucon. Ia berjalan cepat-cepat ke gerobaknya. Beberapa pembeli  sudah menunggu untuk dilayani.

"Agar tidak stress, hidup ini harus dihadapi dengan rasa humor. Karena itu orang yang tidak punya rasa humor bakal frustasi, gampang kecewa dan tersinggung, bahkan kehilangan kewarasan. . . .  !" ucap Mak Murwo dengan kata-kata bijak yang sangat mendalam artinya. Ia tak meneruskan bicara  sebab mendadak muncul sosok kumal, bau, tak terurus dan sangat kurus di kejauhan.

Perempuan itu belum terlalu tua. Ia tak menengadahkan tangan. ia hanya berdiri mematung. Sikap demikian sudah cukup bagi Mbak Murwo untuk membuatkan sebungkus lotek, dan es teh manis dalam plastik. Lalu cepat-cepat diserahkan. Tidak ada kata-kata. Perempuan itu berjalan pergi.

"Tolong jangan dikomentari. Cukup dilihat dan direnungi saja. . . .!" ucap Mbak Murwo dengan wajah murung  setelah perempuan stress itu berlalu.

Orang-orang memperhatikan dengan wajah prihatin. Banyak pertanyaan, tapi tidak hendak dilisankan sama sekali. Dalam perkara ini berdiam diri seperti para pemain catur menjadi wajib. Wajah dan penampilan perempuan itu sangat mirip dengan Mbak Murwo. Mungkin mereka masih ada hubungan saudara. Tapi apa penyebabnya? Kenapa tidak diurus? Apakah karena alasan biasa hingga tega membiarkan anggota keluarga tersia-sia di jalanan?

Orang-orang di situ hanya membatin, dan tak ingin bertanya. Banyak hal dalam kehidupan ini yang tak butuh pertanyaan. Mereka kembali sibuk dengan urusan dan pikiran masing-masing.*** 09 - 23 Sept. 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun