Tak lama Mas Bejo muncul, dan nimbrung duduk di pos ronda. Meski tidak punya hobi main catur, ia senang saja mengamati gaya dan perilaku para pemain catur.
"Harga telur boleh terus membubung, kurs rupiah melemah, dan para koruptor terkena operasi tangkap tangan; tapi para pecatur bergeming. Mereka tak peduli pada apapun, dan tetap fokus pada bidak-bidak catur untuk mematikan raja musuh dan  menyelamatkan raja sendiri. . .  !" ucap Mas Bejo membuka pecakapan.
Kang Murbani dan Wak Jafar hanya melirik, tidak menjawab dan bahkan seperti tidak mendengar suara apa-apa. Dalam konsentrasi tinggi mungkin telinga mereka tidak berfungsi dengan baik. Mas Bejo Maklum, dan tak ingin berkomentar lagi.
"Kopi hitam, Mbak!" ucap Mas Bejo memesan minuman kesukaannya.
"Panas terik begini lebih seger minum es cendol, Mas!" usul Mbak Murwo dengan senyum tersungging. Senyum komersial seorang pedagang.
"Kopi hitam itu minuman wajib bagi para pecinta kehidupan. Bukan hanya rasa dan aromanya, tetapi juga sensasi magis setelah meminumnya, untuk membuat pikiran tetap waras. . . . hehehe!" ujar Mas Bejo berdalih. "Lha ini, dua kampiun catur pun sudah minum es cendol. Pasti terkena bujukanmu, Mbak!"
"Minum kopi terus tidak bagus. Kafeinnya menimbulkan jantung berdebar, dan ketagihan. Lebih sehat minum es cendol. . . . . !" bantah Mbak Murwo.
Dua orang pecatur kembali melirik. Dan dalam hitungan yang sangatr cepat, Kang Murbani tersenyum kegirangan: "Skak mat. . . . !" pekiknya mengagetkan semua orang yang ada di pos ronda dan di bangku panjang Mbak Murwo.
Wak Jafar melihat dengan pandangan tak percaya. Di matanya tampak Kang Murbani memindahkan Menteri dengan begitu pelan, anggun namun ternyata sangat mematikan. Seperti gerakan 'slow motion' pukulan tangan kosong pada film action produksi Hong Kong. Hampir-hampir ia tak percaya bahwa strateginya untuk menjebak benteng, ternyata justru berbalas dengan kematian rajanya. Â
"Nah, sudah. Lupakan dulu caturnya. Minumlah cendol kalian.. . . .!" ucap Mas Bejo sambil tertawa-tawa. "Sekarang waktunya ngobrol. Apa tidak jenuh terus-terusan berdiam diri seperti orang sakit gigi?"
"Pernah lihat orang mancing yang berdiam diri saja memandingi permukaan kolam ikan? Â Tukang bikin sepatu? Atau tukang tembok? Bisa seharian begitu. Mereka lebih parah. . . . !" ujar Wak Ja'far mencari pembenaran.