Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Secangkir Kopi dan Perempuan Stres

23 September 2018   12:41 Diperbarui: 23 September 2018   13:02 1254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
semangkok es cendol (www.kuali.com)

Mas Bejo mengangguk-angguk setuju. Namun dua orang pecatur itu masih geleng-geleng kepala. Mereka meminum es cendol dengan sekali teguk. Semangkok penuh, ludes dalam waktu singkat. Itu perayaan bagi yang menang, tapi rasa sesal bagi yang kalah.

Mbak Murwo mendengarkan pembicaran itu, tak tak berkomentar. Ia membawa cangkir kopi panas, lalu disorongkan ke pos ronda. Mas Bejo menerima cangkir kopinya, mengendus aroma kopi yang seperti menggelitik-gelitik lubang hidung, dan tersenyum.  Lalu berucap spontan: "Tapi ngomong-ngomong, kalian memperebutkan apa sebenarnya hingga begitu serius berharap kemenanganan? Aku curiga kalian diam-diam memperebutkan cinta Mbak Murwo. . . .!"

"Benarkah?" seru Mbak Murwo dengan wajah sumringah, lalu cepat-cepat mendekati Kang Murbani dan Wak Ja'far. "Benarkah kalian mati-matian bertarung di papan catur setiap hari demi aku?"

Dua lelaki itu saling berpandangan sambil menahan senyum. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan, tapi apa. Mbak Murwo mendekat. Lalu Kang Murbani berbisik. "Kalau saja kamu dua puluh tahun lebih muda, dan kami sudah pekerjaan mapan, pasti jawabannya 'iya' . . . . !"

"Jadi Mas Bejo bohong soal kalian?" ucap Mbak Murwo.

"Tidak juga. Siapa sih jomblo yang tak ingin beristeri? Tapi apa ada perempuan yang  mau? Aku dan Kang Murbani ini sudah tua dan miskin. Bahkan tukang lotek pun mungkin tak sudi bersuamikan pemain catur yang tua dan miskin. . . . !" tambah Wak Ja'far dengan suara lirih.

Mbak Murwo mengacungkan jempol. Ia sudah kebal dengan godaan apapun yang dilontarkan para lelaki. Sebagai pedagang ia tidak boleh mudah tersinggung. Godaan apapun harus dijadikannya sebagai lelucon. Ia berjalan cepat-cepat ke gerobaknya. Beberapa pembeli  sudah menunggu untuk dilayani.

"Agar tidak stress, hidup ini harus dihadapi dengan rasa humor. Karena itu orang yang tidak punya rasa humor bakal frustasi, gampang kecewa dan tersinggung, bahkan kehilangan kewarasan. . . .  !" ucap Mak Murwo dengan kata-kata bijak yang sangat mendalam artinya. Ia tak meneruskan bicara  sebab mendadak muncul sosok kumal, bau, tak terurus dan sangat kurus di kejauhan.

Perempuan itu belum terlalu tua. Ia tak menengadahkan tangan. ia hanya berdiri mematung. Sikap demikian sudah cukup bagi Mbak Murwo untuk membuatkan sebungkus lotek, dan es teh manis dalam plastik. Lalu cepat-cepat diserahkan. Tidak ada kata-kata. Perempuan itu berjalan pergi.

"Tolong jangan dikomentari. Cukup dilihat dan direnungi saja. . . .!" ucap Mbak Murwo dengan wajah murung  setelah perempuan stress itu berlalu.

Orang-orang memperhatikan dengan wajah prihatin. Banyak pertanyaan, tapi tidak hendak dilisankan sama sekali. Dalam perkara ini berdiam diri seperti para pemain catur menjadi wajib. Wajah dan penampilan perempuan itu sangat mirip dengan Mbak Murwo. Mungkin mereka masih ada hubungan saudara. Tapi apa penyebabnya? Kenapa tidak diurus? Apakah karena alasan biasa hingga tega membiarkan anggota keluarga tersia-sia di jalanan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun