Satu lagi cerita pada awal-awal berkeluarga dan tinggal di rumah mertua indah di kota provinsi seberang pulau yang atap rumahnya dari seng. Agama Islam di kawasan itu merupakan minoritas, dan jam-jam sahur masih merupakan waktu yang belum tuntas bagi sejumlah orang yang menenggak minuman beralkohol. Tentu selain pemasuk yang sudah menjadi penghuni got, tenggelam di pantai, terkena razia petugas, atau masuk rumah sakit.
Ya, namanya orang mabuk -atau setengah mabuk- sering bikin kekacauan dengan  perkelahian antar mereka. Kadang sekadar menghalangi jalan, lalu mencegat orang lewat, dan membuat perhitungan dengan para penjual nasi/mie goreng yang menggunakan gerobak keliling. Dan satu lagi, membangunkan orang yang hendak sahur dengan melempari rumah seng mereka dengan batu sejak tengah malam. Ini cara yang luar biasa mencekam memang. Tapi begitulah salah-satu suka duka sebagai pendatang. Kenakalan anak muda pada zaman manapun tak pernah surut dari bikin susah orang lain. Dan kita semua tentu pernah muda dan menjadi bagian dari keisengan serta kenakalan mereka.  Â
Belakangan ketika jumlah penduduk kota itu makin padat, pendatang kian banyak, serta pemerintah daerah makin ketat merazia pemuda-pemuda mabuk acara seperti itu terhenti. Mungkin juga para pemuda sudah berpindah tempat karena bekerja, tidak lagi minum miras, sadar diri sudah tua, atau sudah mendapatkan tempat lain yang lebih nyaman untuk menenggak miras.
*
Begitu saja. Membangunkan orang untuk sahur punya cerita, punya suka-duka, dan terlebih juga menjadi kenangan yang menyenangkan. Berpindah-pindah tempat bermukim memungkinkan kita mengenal banyak suku bangsa berbeda, mengenal banyak kota lain, dan terutama menabung banyak cerita yang suatu ketika bakal enak dan unik untuk dituturkan.***5/6/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H