Dulu dan sekarang tentu berbeda jauh cara orang untuk membangunkan orang yang akan melakukan sahur. Dulu yang namanya malam sepi banget, terlebih tengah malam. Tempat tinggal saya di sebuah kota kecamatan dilalui jalan negara yang menghubungkan dua kota besar. Rumah-rumah saling berjauhan, dianrara kebun, ladang, dan tanah kosong.
Hanya suara-suara satwa malam yang sesekali muncul, burung kedasih dengan suara melengking dan ritmis, burung hantu menukik menyambar tikus, atau kepak sayap kelelawar berpesta buah-buahan. Sesekali terdengar truk dan angkutan lain melintas dengan suara mesin seperti tertahan-tahan karena jalan mendaki, atau suara lain yang meluncur deras dari arah sebaliknya.
Di kawasan perkebunan sesekali ada anjing menyalak di kejauhan. Sedang di dalam rumah, di atas plafon tikus-tikus berkejaran. Saat seperti itu orang mudah terlelap dan sulit dibangunkan. Terlebih mereka yang siangnya bekerja keras, hingga badan lelah dan pikiran terkuras. Namun bagi para santri dan ajengan, malam-malam sunyi seperti itu justru digunakan untuk berjaga dengan dzikir, 'itikaf, tadarus, sambil duduk terkantuk-kantuk di sudut masjid.
Ketika tengah malam lewat mendekati Subuh terdengar sejumlah meriam bambu (sebutan setempat 'long bumbung') dikejauhan bersahutan diletuskan, dan itu menandai suara khas bulan Ramadan ketika orang-orang yang berusaha warga muslim untuk makan sahur. Lalu lain waktu bunyi titir beberapa buah kentongan dibunyikan riuh dari arah yang berbeda. Â Â
Pada waktu bulan Ramadan itu anak-anak berani berjalan dalam gelap, untuk menuju masjid atau mushola mengikuti shalat berjamaah. Hari-hari lain anak-anak takut aneka bentuk hantu, mulai  pocong, wewe, glundung pringis, keblak, banaspati, dan genderuwo. Cerita itu dikenal melalui tuturan dari mulut ke mulut, dari terutama gambar umbul yang dibuat seram-seram. Â
Pada kurun waktu yang berbeda cara orang membangunkan untuk sahur sudah menggunakan badug besar. Beberapa orang sekaligus memukul bedug, baik bagian kulit maupun bagian kayu, dengan irama tertentu sekitar dua jam sebelum waktu imsak. Bedug itu ada di pendopo masjid dan tidak dibawa kemana-mana. Terang saja makin jauh jarak rumah-ramah warga dari masjid maka suara bedug yang ada makin kecil dan lamat-lamat.
Beberapa waktu kemudian waktu sahur ditandai dengan bunyi mercon yang meledak-ledak di halaman rumah oang yang relaif berada. Saat itu mercon bentuknya besar-besar, ada yang sebesar batang bambu. Bunyinya tenta saja sangat mengagetkan. Belakangan baru muncul mercon yang lebih kecil dan sangat kecil sebesar batang lidi yang diledakkan seperti rentetan bunyi senapan otomatis.
*
Jauh waktu kemudian saya pribadi terbiasa dibangunkan dengan menggunakan telepon jarak jauh. Yang membangunkan isteri padahal beda waktu satu jam. ia dengan dengan tiga anak kecil-kecil dan keluarga besarnya. Sedangkan saya sendirian saja pada tahun-tahun awal kepindahan kembali ke Jawa. Selama satu tahun saya jauh dari keluarga, dan satu tahun lagi pada tahun yang berbeda sebelum akhirnya mereka menyusul saya.
Saya rasa seiring berjalannya waktu ketika telepon genggam makin banyak digunakan, manfaatnya sangat besar termasuk membangunkan sanak saudara untuk makan sahur. Meski sudah dibangunankan, bahkan dibantu dengan jam weker pula, karena tidak segera beranjak dari tempat tidur beberapa kali tidak sempat makan sahur. Tahu-tahu sudah adzan subuh. Akibatnya hari itu badan lemas, haus cukup menyiksa.
*
Satu lagi cerita pada awal-awal berkeluarga dan tinggal di rumah mertua indah di kota provinsi seberang pulau yang atap rumahnya dari seng. Agama Islam di kawasan itu merupakan minoritas, dan jam-jam sahur masih merupakan waktu yang belum tuntas bagi sejumlah orang yang menenggak minuman beralkohol. Tentu selain pemasuk yang sudah menjadi penghuni got, tenggelam di pantai, terkena razia petugas, atau masuk rumah sakit.
Ya, namanya orang mabuk -atau setengah mabuk- sering bikin kekacauan dengan  perkelahian antar mereka. Kadang sekadar menghalangi jalan, lalu mencegat orang lewat, dan membuat perhitungan dengan para penjual nasi/mie goreng yang menggunakan gerobak keliling. Dan satu lagi, membangunkan orang yang hendak sahur dengan melempari rumah seng mereka dengan batu sejak tengah malam. Ini cara yang luar biasa mencekam memang. Tapi begitulah salah-satu suka duka sebagai pendatang. Kenakalan anak muda pada zaman manapun tak pernah surut dari bikin susah orang lain. Dan kita semua tentu pernah muda dan menjadi bagian dari keisengan serta kenakalan mereka.  Â
Belakangan ketika jumlah penduduk kota itu makin padat, pendatang kian banyak, serta pemerintah daerah makin ketat merazia pemuda-pemuda mabuk acara seperti itu terhenti. Mungkin juga para pemuda sudah berpindah tempat karena bekerja, tidak lagi minum miras, sadar diri sudah tua, atau sudah mendapatkan tempat lain yang lebih nyaman untuk menenggak miras.
*
Begitu saja. Membangunkan orang untuk sahur punya cerita, punya suka-duka, dan terlebih juga menjadi kenangan yang menyenangkan. Berpindah-pindah tempat bermukim memungkinkan kita mengenal banyak suku bangsa berbeda, mengenal banyak kota lain, dan terutama menabung banyak cerita yang suatu ketika bakal enak dan unik untuk dituturkan.***5/6/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H