Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Cerpen | Di Balik Hotel Prodeo

30 Mei 2018   23:46 Diperbarui: 30 Mei 2018   23:56 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
beginningstreatment.com

Ada saat seseorang harus beristirahat. Tidak bergerak, tidak berpikir, dan tidak punya keinginan apapun selain diam, melamun, kadang tidur, sesekali pikiran kosong. Semua beban terasa sudah diletakkan, ditaruh dan ditinggalkan. Sehingga bukan hanya pundak dan kepala yang diistirahatkan dari beban --yang entah berapa beratnya- tetapi juga pikiran, hati, bahkan jiwa. Ahh, alangkah plong, lega, bebas, dan ringan sekali jadinya hidup ini.

Maka jangan menyesali apapun kalau suatu waktu kita harus beristirahat.

Itu yang dirasakan Bos Jumali kala terduduk kaku di pojok ruang. Tanpa alas, bersandar di tembok lembab karena ventilasi ruangan kecil-kecil. sementara penghuni ruangan itu ada belasan orang.

"Anggap saja ini di hotel paling mewah, Pak Jum. Beristirahatlah baik-baik. Hal-hal kecil yang membuat tidak nyaman jangan terlalu dihiraukan. . .!" ujar Mas Dasmin setiap kali melihat lelaki itu tampak murung dan pandangan kosong.

Beberapa lelaki lain tidak berkomentar. Hanya tertawa saja.

Lalu Pak Lurah yang menengahi. "Jangan berandai-andai begitu. Sebaiknya tetap kita rasakan kondisi yang sebenarnya. Hotel prodeo** ini untuk para pesakitan, para pecundang, dan kriminal kambuhan. . . . . .!"

Seminggu lalu Bos Jumali ditangkap petugas. Digiring dan dijebloskan ke ruangan sempit itu. Ia merasa beruntung sebab tidak langsung dihadiahi timah panas seperti orang-orang lain semacam dirinya. Hanya beberapa tendangan dan tonjokan yang mengenainya.

"Bangsat ini yang meracuni anak-anak muda kita. Meracuni para artis, bahkan birokrat dan anggota dewan. Tindakannya sangat terkutuk!" geram komandan penggerebekan dengan nada tingg oleh amarah.

"Siap, Komandan!" jawab seorang anak buah mengiyakan.

Anak-anak buahnya tidak ada yang menyahut. Mereka bekerja cepat dan rapi. Mengambil berbagai barang bukti. Menangkap orang-orang lain yang diperkirakan sebagai kaki-tangan. Dan memasang garis polisi di sekeliling tempat kejadian perkara.

*** 

Melalui proses panjang di pengadilan Bos Jumali akhirnya harus rela menerima vonis tujuh tahun. Berapapun emmang ia harus rela. Daripada timah panas di tulan gkering, atau bahkan tembus di pelipis. Vonis pengadilan menjadi pilihan terbaik.

"Tidak mau banding, Bang?" tanya Rasih -- isteri Bos Jumali- ketika masih di pengadilan.

 "Untuk apa? Inilah resikonya. Semua pekerjaan ada resikonya. Biar aku beristirahat!" bisik Bos Jumali. "Di sana pun kalau pinter dapat meneruskan bisnis itu. Tenanglah!"

Berbeda dengan pandangan orang lain, kini  Bos Jumali justru merasa sangat bebas. Di luar sana ia hidupnya terus terancam. Ia berpindah-pindah tempat dengan rasa takut. Pengiriman barang haram kepada sejumlah langanan terendus petugas. Kurir tertangkap. Lalu para bandar pun terungkap.

***

Malam itu entah kenapa semua penghuni sel tertidur lelap. Biasanya hampir jelang pagi orang-orang baru tertidur. Kali ini belum tengah malam suara ngorok sudah nyaring bersahutan. Mereka terlelap seperti terkena sirep.

Jelang subuh leghuni sel terbangun geragapan. Sejumlah petugas penjara menggebah, berteriak-teriak garang. Membangunkan dengan kasar. Mereka menggunakan senter. Listrik sudah dimatikan.

"Bangun. . ., bangun! Kebakaran. !" Ayo bangun. Selamatkan diri kalian masing-masing. . . .!"

Asap tebal memenuhi ruangan. Entah di mana kebakaran terjadi. Setiap orang terbatuk-batuk, Panasnya lidah api terasa sekali. Pintu besi dibuka dari luar. Belasan pesakitan penghuni sel saling tubruk, dorong, injak, dan lompat. Semua ingin buru-buru menyelamatkan diri ke luar sel.  

Penghuni sel-sel lain pun berhamburan ke halaman. Mereka berteriak-teriak liar. Suasana kalut, kacau-balau. Kebakaran terjadi di sel tujuh di ujung sana. Lalu menjalar ke sel-sel lain. Tidak sampai dua jam satu blok ludes menjadi arang.

Kekacauan dapat segera diatasi. Petugas penjara bertindak cepat. Mereka dibantu belasan polisi yang datang menyusul. Semua nara pidana diperintahkan jongkok dan berkumpul sesuai dengan nomor sel masing-masing. Sekitar jam 6 para petugas serempak mengabsen penghuni tiap-tiap sel.

"Sujak. . .!"

"Ada, Pak!"

"Bardan. . .!"

"Siap, Pak!"

"Jumali. . . .!?" teriak petugas.

Tidak ada yang mengacungkan tangan. Bos Jumali raib. Ketika api dapat dipadamkan, sesosok jenazah yang telah menjadi arang ditemukan. Dugaan sementara itu tubuh Bos Jumali. Orang-orang berspekulasi. Mungkin ketika keributan terjadi, dan semua orang berusaha melepaskan diri dari sergapan api, Bos Jumali justru bersembunyi dan menunggu api menghanguskan tubuhnya. Tapi bisa jadi nasibnya naas, ia terinjak-injak ketika orang-orang berebut keluar pintu. Mas Dasmin berseloroh, "Bos Jumali betul-betul ingin beristirahat. Ia tidak mau keluar dari hotel mewah yang dihuninya. ***

Bandung, 30 Jan --  3o Mei 2018

**Hotel Prodeo, hotel dalam arti kiasan, berarti penjara; lembaga pemasyarakatan

Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun