Ada saat seseorang harus beristirahat. Tidak bergerak, tidak berpikir, dan tidak punya keinginan apapun selain diam, melamun, kadang tidur, sesekali pikiran kosong. Semua beban terasa sudah diletakkan, ditaruh dan ditinggalkan. Sehingga bukan hanya pundak dan kepala yang diistirahatkan dari beban --yang entah berapa beratnya- tetapi juga pikiran, hati, bahkan jiwa. Ahh, alangkah plong, lega, bebas, dan ringan sekali jadinya hidup ini.
Maka jangan menyesali apapun kalau suatu waktu kita harus beristirahat.
Itu yang dirasakan Bos Jumali kala terduduk kaku di pojok ruang. Tanpa alas, bersandar di tembok lembab karena ventilasi ruangan kecil-kecil. sementara penghuni ruangan itu ada belasan orang.
"Anggap saja ini di hotel paling mewah, Pak Jum. Beristirahatlah baik-baik. Hal-hal kecil yang membuat tidak nyaman jangan terlalu dihiraukan. . .!" ujar Mas Dasmin setiap kali melihat lelaki itu tampak murung dan pandangan kosong.
Beberapa lelaki lain tidak berkomentar. Hanya tertawa saja.
Lalu Pak Lurah yang menengahi. "Jangan berandai-andai begitu. Sebaiknya tetap kita rasakan kondisi yang sebenarnya. Hotel prodeo** ini untuk para pesakitan, para pecundang, dan kriminal kambuhan. . . . . .!"
Seminggu lalu Bos Jumali ditangkap petugas. Digiring dan dijebloskan ke ruangan sempit itu. Ia merasa beruntung sebab tidak langsung dihadiahi timah panas seperti orang-orang lain semacam dirinya. Hanya beberapa tendangan dan tonjokan yang mengenainya.
"Bangsat ini yang meracuni anak-anak muda kita. Meracuni para artis, bahkan birokrat dan anggota dewan. Tindakannya sangat terkutuk!" geram komandan penggerebekan dengan nada tingg oleh amarah.
"Siap, Komandan!" jawab seorang anak buah mengiyakan.
Anak-anak buahnya tidak ada yang menyahut. Mereka bekerja cepat dan rapi. Mengambil berbagai barang bukti. Menangkap orang-orang lain yang diperkirakan sebagai kaki-tangan. Dan memasang garis polisi di sekeliling tempat kejadian perkara.
***Â