Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Cerpen | Jelang Ramadan, Comblang, dan Isteri Teroris

16 Mei 2018   21:53 Diperbarui: 16 Mei 2018   22:02 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas subuh Mas Bejo dan Bu Tini bahu-membahu menyiapkan kedatangan bulan agung penuh keutamaan. Keduanya dengan cermat dan penuh semangat membersihkan meja-kursi dan parabotan rumah lainnya. Setelah itu membersihkan dinding, pigura lukisan dan foto-foto, serta pernak-pernik dan hiasan.   

"Jangan lupa sudut-sudut sempit, kolong, dan belakang meja-kursi, Bang. Bersihkan dari debu, tahi cicak, dan jelaga yang menempel. . .!" ucap Bu Tini yang membersihkan alat-alat dapur untuk dimasukkan ke dalam lemari.

"Siap, Komandan, , , , !" jawab Mas Bejo.

"Bersih rumah dengan segenap isinya menandai diri dan hati kita pun bersih.. . .!"

"Siap. Bersih, menandai diri dan hati. Apalagi, Komandan?"

"Lantai dipel minimal dua kali, lalu diberi pewangi anti kuman. Supaya selain brsih juga sehat. Nanti kalau para cucu datang dan bermain di lantai tetap aman dari kuman. . . !"

"Siap.. . . .!"

"Kerja yang cepat, gesit dan dengan sepenuh hati. Jangan ogah-ogahan kayak pegawai negeri. . . .uff, maaf. Kayak pekerja rodi. . . .!"

"Siap, Komandan. Jangan Suudzon ah. Mereka sudah bekerja keras, gaji kecil tidak naik-naik, maka bekerja pun agak santai tak apalah. . . .!" ucap Mas Bejo dengan setengah tertawa. Ia ingat dirinya sendiri pernah satu masa bersikap ogah-ogahan dan malas-malasan karena mendapatkan pimpinan yang tidak mendukung apalagi berempati pada pekerjaan anak buah.

"Oke. Laksanakan. . . .!"

"Laksanakan!"

Hari itu Bu Tini menjadi bos, menjadi majikan dan komandan. Ini soal bersih-bersih rumah memang wewenang penuh ibu rumah tangga. Jadi suami harus nurut, manut, dan mengikuti apa perintah komandan.

"Siap, Komandan. Saya mau istirahat minum kopi dan merokok dulu. Sisa pekerjaan dilanjutkan nanti. . . . !" ucap Mas Bejo seraya meletakkan peralatan kerjanya, dan beranjak ke teras.

Bu Tini tahu apa yang harus dilakukan. Secangkir kopi hitam panas, dan sebungkus rokok dengan koreknya ia bawa ke teras untuk suaminya itu. Sepertiga hari sudah lewat. Dan hari ini hari terakhir sebelum datang tamu agung itu, yaitu Ramadan 1439 Hijriah, yang dimulai Kamis, 17 Mei 2018, besok.

*

Belum lama menikmati kopi dan isapan sebatang kretek, datang Lik Sumar tergopoh-gopoh. Seperti biasa ia mencari teman ngobrol. Sebab sebagai jomblo yang mulai berumur, tidak ada seseorang sebagai teman ngobrol  di rumah.

"Sudah bersih-bersih rumah, Lik?" Mas Bejo mendahului bertanya.

Lik Sumar duduk di kursi kayu menghadap meja bulat, dan memperhatikan secangkir kopi dengan bungkus rokok di sampingnya.

"Meski sekadar basa-basi, tamu datang bagus ditawari minum, Kopi atau teh? Sekalian rokoknya. Bukan malah ditanya yang macam-macam, , , , hehe!" Lik Sumar terkekeh.

Bang Brengos ikut tertawa. Saling sindir menjadi kebiasaan warga. Dan itu sehat agar pembicaraan lebih hidup dan terus-terang.

Di dapur, Bu Tini mendengar sindiran itu.  Ia cepat ke teras, dan berucap pada suaminya. "Mas, kopinya habis. Maaf, tidak tahu kalau Lik Sumar mau datang. Nanti saja datang lagi saat Lebaran pertama, pasti banyak pilihan minuman. . . . !"

"Kalau mau banyak pilihan, tidak perlu nunggu Lebaran, Bu Tini. Sekarang pun bisa. Duduk saja di bangku dekat gerobak jualan Mbak Murwo!" jawab Lik Sumar dengan tertawa. "Jomblo dimana-mana selalu simpel, cekatan, dan disiplin karena punya waktu banyak. Sebab hanya mengurus diri sendiri."

"Oh, begitu ya? Rumah sudah bersih, siap menerima tamu agung. Tapi persiapan shaum bagaimana? Apakah kondisi fisik sehat, hati bersih, dan target ibadah-amaliah sudah tersusun rapi?"

"Nah, itulah persoalannya, Mas. Kalau sudah ketemu dengan Wak Ja'far semua renana bisa buyar. Makan sahur terlambat,  tarawih tidak khusuk. Dan siang habis untuk tidur. Catur ternya dapat juga menjadi racun ya. . . !"

"Apa saja yang melalaikan orang untuk beribadah dan beramaliah itu setan, racun, zombie, atau apapun sebutan lainnya. Jauhi. Minimal selama bulan Ramadan. . . .!" ucap Bu Tini yang sudah membawa cangkir dengan kopi susu kesukaan Lik Sumar.

"Memang minggu pertama Ramadan depan Wak Ja'far mau pulang ke seberang. Sampai Lebaran. Mudah-mudahan shaumku kali ini lebih baik. . . .!" jawab Lik Sumar sambil membayangkan bakal melewatkan banyak malam tanpa buah catur.

"Aamiin. Minumlah kopimu. Ini siang terakhir kita minum kopi. Besok dan seterusnya siang-siang begini hidung tidak boleh sampai terendus aroma kopi. Bisa batal. . . hehe!" komentar Mas Bejo. "Eh, ngomong-ngomong ada perlu apa, Lik Sumar? Agaknya penting?"

Lik Sumar menunggu Bu Tini kembali ke dapur, sebelum ia berbisik: "Kalau aku melamar Mbak Murwo kira-kira diterima nggak, Mas? Tolong comblangi aku untuk memastikan mau tidaknya. . .!"

Mas Bejo tersenyum, dan ganti berbisik. "Kalau soal comblang-mencomblang, ini urusan perempuan. Nanti kubilang ke Bu Tini ya. Kalau kamu bersungguh-sungguh, dan mudah-mudahan berhasil. . .!"

"Mudah-mudahan. . . .!" jawab Lik Sumar. Lalu buru-buru menghabiskan kopinya, dan pamit. "Tolong dirahasiakan dari siapapun, Mas. Terutama dari Wak Ja'far.kalau ia tahu rencanaku bisa-bisa ia mendahului. Dan pasti aku kalah. Ia lebih keen dan banyak uang. Tidak mungkin kulawan. . . !"

"Siap, Komandan. . . .!" sahut Mas Bejo dengan berbisik pula.

Lalu keduanya terkekeh berbareng, diakhiri dengan jabat tangan. Mas Bejo membatin, bahkan urusan cinta pun Ketua RT harus dilibatkan.

*

Pulang dari pasar membantu suami menunggu kios, Bu Tini menyempatkan diri singgah di gerobak Mbak Murwo. Tiap hari ada saja yang diucapkannya, dan kelak bermuara para sosok Lik Sumar.

"Kalau ada teroris yang melamarmu diterima tidak, Mbak?" bisik Bu Tini agar tidak terdengar pembeli yang antri.

"Mau ngajak bunuh diri?"

"Bukan. Ngajak nikah. . .!"

"Lalu bikin anak banyak-banyak untuk diajak. . . !"

"Diajak bawa bom?"

Bu Tini beranjak cepat-cepat. Membuat Mbak Murwo penasaran. Tentu saja para pembeli pun penasaran ingin tahu apa yang  mereka bisikkan. Tapi Mbak Murwo bungkam, dan  meneruskan obrolan yang tertunda tadi.

Dua hari berikutnya Bu Tini kembali. Kali ini tidak bicara apa-apa. Sikap ini juga membuat Mbak Murwo penasaran. "Kenapa, Bu Tini?"

"Ia ragu-ragu, dan merasa sangat malu bila sampai ditolak. . .!"

"Siapa? Mas Amin Kartamin?"

"Bukan.. . . .!" ucap Bu Tini seraya beranjak pergi.

Mbak Murwo makin penasaran. Tiap hari ia meghitung-hitung, berandai-andai, dan membayangkan suami yang ideal untuknya. Satu waktu ia pasrah saja siapapun calon suami yang datang bakal dierima, atau waktu lain ia pingin bersuamikan lelaki yang yang ganteng para bintang sinetron, sekaya konglomerat, dan secerdas para tukang ngoceh di layar televisi. Namun sejauh itu Bu Tini belum berterus terang. 

Suatu sore Lik Sumar datang dan memesan dua bungkus lotek. Mbak Murwo kaget dan heran sebab sudah lama lelaki itu tidak bermain catur di pos ronda.

"Untuk siapa, Lik, kok dua bungkus? Sebungkus untuk calon isteri ya?" goda Mbak Murwo, memancing.

Lik Sumar tersenyum kecil. Lalu berbisik. "Calon isteriku tidak suka makan lotek?"

"Lho? Kenapa?"

"Ia seorang penjual lotek. . . .!"

"Hahh?!"

Tidak ada pembicaraan lagi. Mbak Murwo tidak menyangka Lik Sumar berani berterus terang. Tapi ia tidak ingin menanggapi gurauan itu. Sebab ia masih penasaran dengan orang yang dicomblangi Bu Tini.

* 

Sehari kemudian Bu Tini datang, dan seperti biasa mendekat ke belakang berobak dan berbisik pada Mbak Murwo. "Batal, Mbak. Tidak jadi"

"Lho? Kenapa, Bu? Bukankah selama ini aku belum menjawab iya atau tidak? Ia muncul begitu saja. Si pengecut itu. Apa betul ia seorang teroris yang ragu-ragu? Aku tidak mau diajak bunuh diri seperti teroris di Surabaya beberapa hari lalu?"

Bu Tini tak menanggapi. Ia membiarkan Mbak Murwo menumpahkan kekesalannya. Setelah agak reda, ia kembali berbisik. "Orangnya sudah datang sendiri ke sini. Ia tidak butuh jasaku lagi. . .!"

"Siapa? Lik Sumar?" Mbak Murwo terkekeh merasa kena jebakan.

Bu Tini seperti biasa tidak menjawab gamblang. Ia suka sekali membuat teka-teki, dan melarikan diri sambil tertawa tergelak-gelak. 

***14/5/2018

Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun