Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Orang Partai, Mako Brimob, dan Amien Rais.

11 Mei 2018   06:51 Diperbarui: 11 Mei 2018   08:15 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana mako brimob kelapa dua depok sebelum napi teroris menyerah

Sekitar dua bulan Mas Amin Kartamin tidak pernah singgah di pos ronda. Siang ini tiba-tiba ia muncul dengan penampilan baru. Wajah, senyum, potongan rambut, hingga pakaian yang dikenakan serba beda, dan seperti baru. Baru keluar plastik dari dalam dos. . . hehe. Yang jelas, ia tidak lagi seperti penampakannya dulu. Sebagai tukang ketoprak dulu ia  berpakaian serba sederhana, bertopi kain bulat menutupi kening, dan ada handuk kecil tersampir di pundak. Kini Mas Amin serupa pekerja kantoran.

Entah bagaimana awalnya, tapi Mas Amin tampak sangat percaya diri. Wajahnya dipasang beribawa, meski senyum manis tak ketinggalkan, dan gaya bicaranya sudah berubah. Ketika bertemu dengan Mbak Murwo seperti ragu-agu dan hendak menghindar, namun si janda penjual lotek dan jamu agresif dengan lebih dahulu menyapa.

"Waduh, Mas Amin, kok tumben baru muncul? Tambah keren nih. . . .!" goda Mbak Murwo yang membuat  si lelaki salah tingkah.

"Terima kasih. Mbak Mur juga makin kinclong. Digosok pakai amplas ya. . . .?"

"Bukan. Pakai gerinda. . . . hehe."

"Ngomong-ngomong, ada perubahan apa nih?"

Mas Amin duduk di bangku kayu, dan dengan isyarat tangan ia memesan seporsi lotek. "Perubahan pasti ada. Berhenti mendorong gerobak ketoprak, aku didapuk jadi orang partai."

"Wow. Hebat, hebring euy. .  . .!"

"Penampilan harus selalu keren. Kayak orang kantoran. Rapi, necis, dan wangi. . .!"

"Tidak seperti penjual ketoprak keliling ya?" tanya Mak Murwo sambil meladeni pesanan lotek seporsi.

Mas Amin tertawa. "Ini sekaligus latihan. . . . !"

"Latihan?"

"Semua kader dan pengurus parpol bercita-cita menjadi anggota dewan. Anggota DPR atau DPRD. Aku pun begitu, jadi anggota legeslatif. Ini jalan pintas untuk menjadi orang sukses, menjadi orang kaya raya Kerjanya rapat tiap hari, ngurus uang rakyat, dan membahas program-program Pemerintah untuk menghabiskan anggaran. . .!"

"Lalu main suap?"

"Husssy, jangan asal tuduh begitu. Tidak baik. Tidak semua anggota dewan brengsek. Banyak yang alim, jujur, dan terhormat. Tapi mungkin sesekali mereka lupa. . . .!"

Tiba-tiba datang Mang Oboy tukang tahu, dan Si Gondes penjual nsi goreng gerobak dorong.

"Cie-cie, ketemu lagi nih ye. . . . !" ucap Mang Oboy seraya meghentikan sepeda onthelnya, menstandarkan, lalu duduk di bangku kayu dekat gerobak lotek Mbak Murwo.

"Bakal seru ceritanya, kalau Mas Amin mau mempertimbangkan Mbak Murwo. . . !" tambah Si Gondes sambil tertawa-tawa.

Mas Amin menoleh, dan tertawa saja. Biasa, candaan tukang tahu dan tukang nasi goreng itu tak jauh-jauh dari gosip percintaan. Namun ya sebatas bercanda. Maka Mas Amin tak serius menanggapinya.

"Tapi dengar-dengar Mbak Murwo sudah ketemu jodohnya. Aku sih senang-senang saja. Nah, kalau belum . . . . . !" ujar Mas Amin kemudian.

"Kalau belum?" ulang Mbak Murwo dengan rasa penasaran.

"Kalau belum bakal diperebutkan antara Kang Murani dengan Wak Ja'far. Di kampung kita ini hanya dua orang itu yang siap nikah, siap jadi suami, dan terutama juga siap bertanggungjawab dunia-akhirat dengan siapapun yang mau jadi isterinya. . ..!" ucap Mang Oboy menyahut.

"Aamiinnnn. . .!" jawab Mbak Murwo dengan bibir mencibir. "Dua jomblo itu pernah naksir seorang warga baru kompleks ini. Tapi setelah tahu yang ditaksir seorang dokter jiwa keduanya tampak mengkerut. Mungkin takut disuntik gila ya. . . . . hehe."

"Lotek dua lagi, Mbak. . .!" ucap Mas Amin.

"Untuk siapa, Mas? Mau mentraktir Mang Oboy dan si Gondes? Bukan main. . . . . !" tanya Mbak Murwo sambil tertawa. "Penampilan berubah, rezeki pun berubah. Alhamdulillah!"

Mbak Murwo menyerahkan sepiring lotek dan segelas teh tawar pada Mas Amin.  Sementara itu tukang tahu dan tukang nasi goreng tidak berkomentar apa-apa. Kebetulan lapar, dan ini ada yang berbaik hati mentraktir.

*

Tak lama Mas Bejo dan Pak Edi Murdowo alias Edimur tampak dari jauh. Keduanya berbincang serius mengenai berbagai persoalan muthakhir sambil berjalan ke pos ronda 'klub banting kartu' Jalan Mlandingan, Kampung Kalajengking, pinggir kota Metropolitan.

"Bukan hanya Lapas yang rusuh oleh para napi, di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok pun rusuh. Yang mengenaskan lima orang polisi dan satu napi tewas.. . . .!" ujar Mas Bejo membuat kesimpulan sendiri dari berita yang dilihatnya di layar televisi.

"Melihat jumlah tewas terbanyak justru polisi, maka ini serangan yang tidak main-main. Para napi teroris itu betul-betul terlatih, dari mulai perencanaan hingga eksekusi. . .!" sambung Pak Edimur dengan wajah menunjukkan kengerian. "Apakah mereka menghabisi petugas dengan senjata yang mereka rebut dari petugas, atau dengan senjata tajam yang selama ini berhasil mereka sembunyikan?"

Keduanya mengangguk pada orang-orang yang lebih dahulu duduk di bangku dekat gerobak lotek Mbak Murwo.

"Bahkan yang lebih memprihatinkan, mereka masih menyandera seorang polisi. Lalu polisi terpaksa melakukan negosiasi. Ini betul-betul kecolongan yang terlalu besar bagi polisi, khususnya yang bertugas Mako Brimob. . . .!"

Mas Amin, Mang Oboy, Si Gondes, dan Mbak Murwo tentu hanya bisa terpana pada tema pembicaraan yang aktual itu. Tiga oang yang sedang mengunyah itupun cepat-cepat menelan kunyahan mereka meski belum terlalu lembut.

"Lima polisi dan satu napi tewas, Mas Bejo?" ulang Mang Oboy. "Pelakunya pasti para teroris. . . . !"

"Ya, memang kerusuhan di Blok C Mako Brimob Kelapa Dua Depok itu dihuni para teroris. Pengawasan lemah dan mungkin cenderung terlalu longgar.. . . ," ucap Mbak Murwo tak mau kalah. Di sela melayani pembeli ia selalu menyempatkan diri membuka aneka berita terkini dari gadgetnya.

Beberapa saat mereka terdiam. Tiga orang yang menghadapi piring lotek, kembali melakukan suapan terakhir. Sedang Mas Bejo dan Pak Edimus cuma pesen jus alpokat.

"Ini artinya terorisme yang beberapa waktu tiarap bakal bangkit kembali. Hati-hati. . . . !" ucap Pak Edimur. "Di tengah Pemerintah fokus pada persoalan bangsa selalu muncul para pengganggu, dan kini para teroris ikut ambil bagian. . . !"

"Beruntung akhirnya para teroris menyerah. Akhirnya 155 orang dipindahkan ke Nusa Kambangan. . . .!" ucap Mas Bejo.

Mbak Murwo dengan cepat menyelesaikan pesanan dua gelas jus alpokat dan langsung disodorkan di meja di depan Mas Bejo dan Pak Edimur. "Minum dulu es juice-nya supaya otak tetap dingin, tidak terbawa emosi dalam membahas setiap persoalan gawat di tanah air kita ini. . . !"

Tiba-tiba Mas Amin berdiri dan membayar tiga piring lotek dan dua gelas es juice. "Biar saya bayarin sesekali. Tapi saya minta maaf masih ada pekerjaan, jadi tidak bisa ikut ngerumpi lebih lama. . . .!"

"Cepat-sapat saja, Mas? Tapi minimal bikinlah satu komentar dulu, Pak Amin. . .!' ucap Pak Edimur dengan nada bercanda.

"Wah, jangan. Saya cuma Amin Kartamin mantan pejual ketoprak, bukan Amin Rais yang tokoh parpol itu. Soal komentar biar beliau saja yang rajin melakukan. Amin-amin yang lain termasuk saya harus lebih bijak ketika berbicara, atau diam. . . .!" jawab Mas Amin bernada menasihati.

Hahaha. Orang-orang tertawa tegelak-gelak. Ada sengat menohok dalam ucapan Mas Amin Kartamin itu. Mbak Murwo yang baru saja membaca berita tentang 'pemimpin sontoloyo' oleh bapak reformasi yang belakangan mendapat julukan sinis Sengkuni itu. Suara tawanya melengking seperti orang kesetrum, dan diakhiri dengan nafas terengah-engah serta batuk.*** 7-11/5/2018

*)  Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun