Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Modal Kerja, Lotek, dan Cemburu

30 April 2018   17:22 Diperbarui: 30 April 2018   17:32 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lotek bandung (Good Indonesian Food)

Tiap orang harus bekerja. Bekerja apa saja. Dengan modal sekolah atau sekedar kursus, atau hanya mendapatkan pengalaman kerja. Yang berani, tidak malu, penuh inisiatif, jujur, disiplin, dan sanggup bekerja keras.

Ada yang bemodal pendidikan tinggi dan ahli untuk bekerja, tetapi ada yang dengan modal keterampilan sederhana. Hasilnya kadang tak terduga, sebab  yang hanya memiliki keterampilan bisa saja suatu ketika menjadi bos sejumlah orang yang berpendidikan tinggi. Tidak banyak contohnya, tetapi ada.

Begitu Pak Bejo beberapa kali mengutarakan pendapatnya kepada beberapa orang yang berbeda di pos ronda 'klub banting kartu'. Kali ini terkait dengan keuletan kerja Mbak Murwo yang hanya lulusan SD, namun dengan kegigihannya mampu membuka usaha kecil-kecilan dengan penghasllan memadai.  

"Semua orang senang dengan kehadiran Mbak Murwo di sini. Makan-minum terjamin, suasana ngobrol kondusif, pos ronda jadi penuh hikmah. . .  hehe!" komentar Pak Bejo selakuketua RT di kawasan perumahan itu.

Mbak Murwo sedang mengulek, alias merendos, bumbu lotek. Dua orang ibu dan anak perempuannya menunggu dan buru-buru hendak ke terminal bus. Keduanya berencana makan lotek di atas bus dalam perjalanan pulang kampung.

"Iya, Pak RT. Harus kondusif. Lebih-lebih kalau ditunggu pembeli yang buru-buru hendak pulang kampung. Kalau ditinggal ngobrol dulu pasti wajah pembelinya cemberut. . . . hehe. . . !"

Ibu dan anak pembeli lotek itu tersenyum agak kaku karena tersindir.

"Nggak cemberut kok, Mbak. Paling-paling nangis. . . . hehe!" jawab si Ibu sambil tersenyum.

"Wah, bingung penjualnya kalau ibu dan anak sampai nangis bareng!" komnetar Pak Bejo

"Kalau begitu yang ngobrol biar antar pembeli, serta mungkin siapa yang berada di pos ronda. Penjual harus konsentrasi pada pekerjaannya. Jangan sampai salah bumbu, apalagi cabenya terlalu banyak, pembeli bakal protes keras!" jawab Mbak Murwo sambil membungkus dua porsi yang sudah selesai. "Ini Bu, dua puluh ribu rupiah. . .!

Si Ibu pembeli menyerahkan uang, dan mengambil kantong plastik berisi dua bungkus lotek. "Terima kasih," ucapnya seraya menigngalkan tempat itu.

Giliran Mbak Murwo meladeni permintaan Pak Bejo.  "Tumben, Pak Bejo, siang-siang sudah pulang. . .!"

"Ada yang tertinggal di rumah. Pulang sebentar. Makan siang belum siap, jadi diperintah Bu Tini untuk beli lotek saja sendiri. Dua bungkus pedes ya, Mbak  . . . !"

"Siap, Pak. Oh, Bu Tini sedang sibuk dengan jahitannya ya? Suami-isteri sama-sama cari duit begitu pasti hidup makmur. . . !"

"Alhamdulillah. Makmur belum, tapi cukup saja pun lumayanlah. Orang hidup harus terus berpikir dan mengasah keterampilan agar mampu membiayai dirinya sendiri.

"Panjang ceritanya, Pak?"

"Panjang. Tapi begitu bungkusan selesai, ya harusselesai pula ceritanya. Sudah lapar nih. . . .  hehe," ucap Pak Bejo sambil memegangi perut. "Kembali ke soal, keterampilan. Dulu di kampung ada suami yang maju usahanya dalam bisnis sayuran. Ia jadi bandar membawa aneka sayuran ke kota. Isterinya disuruh ngurus anak saja,  dilarang ikut bekerja."

"Hasil kerja suami pun lebih dari cukup 'kan?"

"Ya. Tapi beberapa tahun kemduian si suami sakit-sakitan. Kerja keras siang-malam dan kesehatan tidak dijaga penyebabnya. Akhirnya tidak dapat bekerja lagi. Usaha sedikit demi sedikit bangkrut. Isteri pun merana tidak dibiasakan bekerja. . . .!"

Mbak Murwo membungkus dua porsi dengan cepat. Memasukkanke dalam kantong platik menambahkan dua bungkus kerupuk.

"Khusus untuk Pak RT dan Bu Tini diberi ekstra. . . .  !" ucap Mbak Murwo sambil menyerahkan. "Ekstra pedas. . . . hehe!'

"Ekstra pedas dan senyum. . . . hehe. Tambah krupuk satu plastik. Jadi dua puluh lima ribu ya. Terima kasih. . . .!" ucap Pak Bejo menerima bungkusannya dan langsung pergi.

***

Sampai di depan rumah Bu Tini sudah menunggu. Wajahnya tampak berkerut. Pak Bejo buru-buru berdalih: "Antri. Biasa pembelinya banyak, Bu. . . .!"

"Masak sih, Ketua RT tidak bisa minta didahulukan?" sambut Bu Tini dengan nada bercanda.

"Minta bisa. Tapi penjual yang baik tetap melayani yang lebih dahulu datang. Pembeli siapapun jangan bikin malu diri sendiri dengan tidak mau antri. Ayo cepat makan, malah makin lapar nanti. . .  hehe!" ujar Pak Bejo.

Bu Tini menyiapkan piring dan sendok-garpu, Disiapkan juga nasi putih dan krupuk yang tadi dibeli suaminya.

"Alhamdulillah. . . bissmillah. . . . !" ucap Pak Bejo sebelum memulai suapan pertama. Dan ia kembali ingat pada nasihatnya pada diri sendiri: bukan ijazah atau kemampuan kerja saja yang menjadikan seseorang mendapatkan matapencaharian dari pekerjaannya, tetapi terlebih juga modal berani, tidak malu, penuh inisiatif, jujur, disiplin, dan sanggup bekerja keras. Ungkapan itu sudah dipraktikkannya sendiri. ia tidak lulus sekolah menengah kejuruan, tapi keterampilan kerja terus diasah sehingga makin dipercaya orang sehingga mendapatka pekerjaan  yang memadai. . .!

"Enak, Pak?"

"Lapar itu obatnya cuma makan. Enak atau tidak enak itu nomor dua. Alhamdulillah kita masih diberi rezeki hari ini, Bu. . . !

Bu Tini tidak jadi meneruskan ucapannya "Pasti enak. Penjualnya Mbak Murwo yang makin pinter dandan dan tidak kehabisan bahan untuk ngobrol!" Sebab itu ungkapan rasa cemburu seberapapun kecilnya, sekaligus curiga, dan bibit ketidakpercayaan pada suami. Hal-hal kecil seperti itu jika dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi bibit pertengkaran, dan tak mudah diduga bagaimana akhirnya. ***

Bandung, 30-4-2018

Gambar

Simak juga tulisan sebelumnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun