Bu Tini Subejo dan Mak Fatmah masih ngobrol asyik tentang merebaknya penggunaan miras. Tapi kemudian berubah mengomentari banyaknya berita tentang Jokowi yang digambarkan dekat dengan rakyat, merakyat, dan bikin rakyat senang.
"Senang sekali tiap hari ada berita Pak Jokowi, ya? Terutama berita ketika beliau ada di tengah masyarakat, mendekati warga, dan bersikap menyenangkan mereka. Presiden yang terus bergerak, gesit dan penuh senyum, seperti tidak punya rasa lelah. . . . heheh!"
"Bu Tin ini kayaknya pro banget sama Jokowi ya?" tanya Mak Fatmah menggoda.
"Harus. Siapa saja presiden pada eranya mestilah kita dukung. Dulu zaman presiden Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, bahkan SBY kita dukung, meskipun mungkin kita setuju dengan cara mereka memerintah. Nah kini giliran Jokowi presiden, kita dukunglah."
"Dukung penuh!"
"Apalagi dia terbukti sosok pilihan. Petral bubar, kapal asing pencuri ikan ditenggelamkan, aneka pembangunan fisik dari mulai pos perbatasan -- bendungan -- jembatan -- jalan tol -- bandara hingga pelabuhan. Pembaunan itu menjadi fenomenal sebab sebagian sekadar meneruskan proyek mangkrak pemerintahan sebelumnya. Luar biasa 'kan?"
"Ini kampanye 2019 ya?"
"Hal-hal baik harus dipromosikan. Biarlah parpol opisisi terus menggali-gali kesalahan. Mereka memang tertutup mata hatinya untuk mampu bersikap jujur. Aku nggak pilih rival abadi itu karena anu. . . . . !"
"Anu? Bukan ani?" Mak Fatmah tertawa menanggapi pilihan diksi multi tafsir itu.
"Ani sudah lengser. Tinggal si anu yang abadi sebagai. . . . Â nganu!" giliran Bu Tin yang tertawa-tawa senang.
"Padahal si nganu 'kan tidak punya anu?" sambung Mak Fatmah dengan tersenyum.
Kang Mubeni dan Wak Ja'far yang mendengar celoteh Bu Tin menengok. Itu sudah permainan kedua dengan kedudukan sama kuat, satu -- satu. Adu cerdik di atas papan catur pun makin tegang. Begitulah kalau dua orang pecatur dengan kemampuan seimbang menghadapi papan catur. Mereka saling mengalahkan tergantung buah yang dipegang. Siapa pegang buah putih diiringi penyerangan dan strategi jitu besar kansnya untuk menang.
"Bu Tin ini seperti pemain catur saja. Pinter sekali bermain strategi, serang-sana serang-sini, bikin heboh, lalu bersembunyi. . . . hehehe!" komentar Kang Murbani setelah menggeser menteri.
"Barangkali menghadapi permainan Mas Bejo di balik kelambu pun begitu strateginya ya?" tambah Wah Ja'far sambil memajukan bidak yang terancam.
"Main strategi? Itu memang politik rumah-tangga, Bro. Kalau jomblo tidak perlu strategi-strategian. Hehehe. . .!" jawab Bu Tin.
"Sudah. . . ., sudah. Jangan ngomongin rahasia di balik kelambu. Nanti dikira ngerumpi mesum. . . . ," ucap Mak Fatmah dengan suara lirih. Diam-diam ia menggamit lengan teman ngobrolnya itu. Ia melihat ada orang yang akan datang. "Nah, sekarang ngobrol soal lain saja. Misalnya kenapa Mbak Murwo masih betah menjomblo. Padahal ada Kang Murbani dan Wak Ja'far yang nganggur. . . . hehehe!"
*
Terik matahari meredup cepat, langit tersaput mendung. Angin bertiup lumayan kencang. Ada dua kemungkina terjadi, hujan segera turun, atau sebaliknya mendung terapu angin menjauh.
Ancaman mendung tak menyurutkan langkah Yu Lik, dan Nek Nurla untuk mencari teman botram. Bersamaan dengan itu muncul seorang ibu muda mengendarai motor. Penampilannya layak lirik. Terlebih bagi para jomblo. Betapa tidak, perawakannya semampai, berkulit terang, dengan kerudung tidak rapat menyisakan rambut tebal di atas dahi.
Spontan Kang Murbani dan Wak Ja'far melirik, dan diteruskan dengan menoleh terang-terangan. Bibir keduanya bersuit-suit tanpa sadar. Lalu mereka saling mengedipkan mata, dan mengacungkan jempol. Mereka mengabaikan suasana genting di papan catur.Â
"Boleh saya gabung di sini ya, Ibu-ibu. . . .?" ucap Bu Katrina dengan suara merdu, "Saya warga baru di ujung kompleks. Perlu kenal warga di sini. . . . !"
"Oh, silakan. Kami sedang botram nih. . . .!" jawab Mak Fatmah. Ibu-ibu lain mengangguk. Lalu bersalaman. Mereka menguasai satu meja untuk sambil ngobrol apa saja yang melintas di kepala.
"Di sini pos rondanya ramai ya?" komentar Bu Katrina.
"Siang-malam ramai. Mudah-mudahan pos ronda dan lingkungan ini dijauhkan dari perilaku ketagihan miras seperti yang terjadi di Kabupaten bandung ya.. . . .." Â ucap Bu Tin beralih tema pembicaraan.
"Iya dong. Jangan sampai tersihir oplosan. . . !" Yu Lik menyambut.
"Apapun yang dioplos itu jelek," sambung Nek Nurla.
"Di Cicalengka korbannya banyak. Pembuatanya buron, sejumlah penjualnya sudah ditangkap. Mudah-mudahan tidak ada lagi korban yang jatuh," ucap Mak Fatmah menambahkan.
Yu Lik tidak mau kalah. "Semalam kudengar dari berita tv, si pengoplos menambahkan tiner dalam minuman itu. . . . .!"
"Pantesan. Korbannya langsung tewas. Ada yang sampai berhari-hari tersiksa hebat sebelum akhirnya tewas. Ngeri . . . ah!" komentar Bu Katrina.
Nek Nurla hanya ikut mengangguk-angguk. Ekspresi wajahnya focus pada  kunyahannya. Sepotong gehu dengan cabe rawit luar biasa enak. Namun karena sebagian giginya goyah dan tinggal beberapa, mengunyah pun sulit.
Ia harus konsentrasi betul agar bukan justru giginya yang tanggal lagi. Untuk menunjukkan keaktifannya ikut grup botram ia berkomentar juga, Â "Mending juice jambu batu daripada minum miras oplosan itu. Itu minuman cari mati. Jangan deh . . !"
Sementara itu Mbak Murwo baru menyadari ada pembeli warga baru. Ia pun seketika terbelalak. Otaknya cepat berputar, dan ingat pada omongan Kang Murbani dan Wak Ja'far beberapa waktu lalu. Maka ia mendekati dua pemain catur, dan spontan ia berseru: "Kang Murbani, Wak Ja'far. . . Â . ! Nah, ketahuan sekarang. Aku dengar pembicaran kalian tadi, mau berkenalan dengan warga baru kita ya?"
Kang Murbani dan Wak Ja'far tentu saja kaget. Juga malu, sebab pembicaran mereka rupanya didengar oleh Mbak Murwokanti, si penjaja jamu keliling yang sudah mengembangkan usaha menjadi penjual lotek, rujak, es joice dan gorengan yang menetap di sisi pos ronda.
Beberapa saat pada ibu saling pandang. Dan bukannya dua orang jumblo itu yang mendekat, tetapi justru Bu Katrina. Janda cantik itu menyalami Kang Murbani dan Wak Ja'far dengan tersenyum manis sekali. "Kenalkan, nama saya Bu Katrina. . . . ! Profesi dokter. . . . .!"
Kang Murbani dan Wak Ja'far seperti mengkerut mendengar profesi wanita itu.
"Nama saya Kang Murbani. . . .!"
"Saya, Wak Ja'far. Yah, nanti kalau saya sakit pasti berobat ke tempat praktik Bu Dokter.. . .!"
"O, boleh. . . .boleh. Saya dokter spesialis penyakit jiwa. Apakah Wak Ja'far . . . Â .?"
Ibu-ibu tertawa serempak. "Hahaha. Kang Murbani dan Wak Ja'far akan segera dibawa ke rumah sakit jiwa. . . . .!" ucap Bu Tini Subejo.
Permainan catur spontan bubar. Kedua jomblo itu tidak bersemangat lagi meneruskan rencana. Mereka sadar diri tidak perlu diteruskan. Keduanya merasa tidak selevel, merasa terlalu rendah bila harus berharap, merasa terlalu 'serupa pungguk merindukan bulan di langit'. Ahay. . . !*** (Selesai)
Bandung, 13 April 2018
Catatan: Korban tewas midras oplosan di Cicalengka per 10/4/2018 menjadi 41 orang
Cerpen sebelumnya:
- cerpen-bermain-catur-botram-dan-rumah-sakit-jiwa-1
- cerpen-kucing-nasib-dan-wahyu-sapta-rini
- cerpen-kebencian-abu-lahab-melekat-pada-diri-mas-amin-1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H